Friday, November 26, 2010

Kisah Pencuri Yang Ahli Fiqih

Mukaddimah

Sejenak sebelum membaca semua isinya, barangkali dari judulnya saja sudah mengundang keingin-tahuan anda, benarkah ada maling yang ahli fiqih.?
Kedengarannya aneh, adakah ada pencuri yang bisa jadi ahli fiqih? Kenapa ia bisa melakukana hal itu? Siapakah ia sebenarnya?
Untuk menjawabnya, silahkan semak kisahnya!


Dikisahkan bahwa suatu malam, seorang Qadli dari Anthokia pergi ke sawah miliknya namun tatkala baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia dihadang oleh seorang pencuri yang membentak, “Serahkan semua yang engkau miliki.! Kalau tidak, aku tidak akan segan-segan berbuat kasar terhadapmu.!”

“Semoga Allah menolongmu. Sesungguhnya para ulama itu memiliki kehormatan. Dan aku adalah seorang Qadli negeri ini, karena itu lepaskan aku,” kata Qadli

“Alhamdulillah, karena Dia telah memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan orang sepertimu. Aku sangat yakin bahwa kamu boleh kembali ke rumah dengan pakaian dan kendaraan yang serba berkecukupan. Sementara orang selainmu barangkali keadaannya lemah, faqir dan tidak mendapatkan sesuatu pun,” jawab si pencuri

“Menurutku, kamu ini orang yang berilmu,” selidik Qadli
“Benar, sebab di atas setiap orang yang ‘alim ada yang lebih ‘Alim,”jawabnya tenang

“Kalau begitu, apa katamu tentang hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, ‘Dien itu adalah Dien Allah, para hamba adalah para hamba Allah dan as-Sunnah adalah sunnah-Ku; barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru (bid’ah), maka atasnya laknat Allah.’ Maka, memalak dan merampok adalah perbuatan bid’ah dan aku menyayangkan bila kamu masuk dalam laknat ini,” kata Qadli mengingatkan

“Wahai tuan Qadli, ini hadits Mursal (bagian dari hadits Dla’if), periwayatnya tidak pernah meriwayatkan dari Nafi’ atau pun dari Ibn ‘Umar. Kalau pun aku mengikuti kamu bahwa hadits itu shahih atau terputus, maka bagaimana dengan nasib si maling yang amat membutuhkan, tidak memiliki makanan pokok (keseharian) dan tidak dapat pulang dengan berkecukupan. Sesungguhnya harta yang bersamamu itu halal bagiku. Malik meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Andaikata dunia itu ibarat darah segar, niscaya ia halal menjadi makanan pokok kaum Mukminin.’ Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan seluruh ulama bahwa seseorang boleh menghidupi dirinya dan keluarga (tanggungan)-nya dengan harta orang selainnya bila ia khawatir binasa. Demi Allah, aku takut diriku binasa sementara harta yang ada bersamamu dapat menghidupiku dan keluargaku, maka serahkanlah ia lalu pergilah dari sini dengan selamat,” ujar sipencuri

“Kalau memang demikian keadaanmu, biarkan aku pergi dulu ke sawahku agar singgah ke penginapan para budak dan pembantuku untuk mengambil sesuatu yang dapat menutupi auratkku. Setelah itu, aku akan serahkan kepadamu semua apa yang bersamaku ini,”kata Qadli memberi alasan

“Tidak mungkin, tidak mungkin.! Orang sepertimu ini ibarat burung di dalam sangkar; bila sudah terbang ke udara, lepaslah ia dari genggaman tangan. Aku khawatir bila membiarkanmu pergi, kamu tidak bakal memberikan sesuatu pun kepadaku,” kata si pencuri lagi

“Aku bersumpah untukmu bahwa aku akan melakukan itu,” kata Qadli bertegas!

“Malik menceritakan kepada kami dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Sumpah orang yang dipaksa (terpaksa) tidak menjadi kemestian (tidak berlaku).’ Allah Ta’ala berfirman, ‘Kecuali orang yang dipaksa sementara hatinya mantap dengan keimanan.’ Aku khawatir nanti kamu menakwil-nakwil terhadap perkaraku ini, karena itu serahkan saja apa yang ada bersamamu itu.!” tegas si pencuri seakan tidak mau berkompromi

Maka, sang Qadli pun memberinya kendaraan dan pakaian tetapi tidak menyerahkan seluarnya. Lalu sipencuri berkata,
“Serahkan juga seluar itu, ini harus.!”

“Sesungguhnya sekarang sudah waktunya shalat padahal Rasulullah SAW bersabda, ‘Celakalah orang yang melihat aurat saudaranya.’ Sekarang ini, sudah waktunya shalat sementara orang yang telanjang tidak boleh shalat sebab Allah berfirman, ‘Ambillah hiasan kamu setiap pergi ke masjid.’ Dikatakan bahwa tafsir ‘hiasan’ tersebut adalah pakaian ketika akan shalat,” sang Qadli mulai berargumentasi

“Adapun mengenai shalat kamu itu, maka hukumnya sah. Malik menceritakan kepada kami, dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang-orang yang bertelanjang melakukan shalat dengan berdiri sedangkan imam mereka berada di posisi tengah.’ Malik berkata, ‘Mereka tidak boleh shalat dengan berdiri tetapi shalat secara terpisah-pisah dan saling berjauhan hingga salah seorang dari mereka tidak bisa melihat kepada aurat sebagian yang lainnya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ‘mereka shalat dengan duduk.’ Sementara mengenai hadits yang kamu sebutkan itu, maka ia adalah hadits Mursal dan andaikata aku menyerah kepada dalilmu, maka itu dapat diarahkan kepada makna ‘memandang dengan syahwat.’ Sedangkan keadaanmu saat ini adalah keadaanmu terpaksa bukan bebas, dapat memilih. Bukankah engkau tahu bahwa wanita boleh mencuci farji (kemaluan)-nya dari najis padahal tidak dapat menghindar dari melihatnya.? Demikian juga dengan seorang laki-laki yang mencukur bulu kemaluannya, orang yang bersunat dan dokter. Bila demikian keadaannya, maka ucapan sang Qadli tidak berlaku,” sanggah si pencuri yang ahli fiqih ini

“Kalau begitu, kamulah Qadli sedangkan aku hanyalah seorang yang disidang (mustaqdla), kamulah Ahli Fiqih sedangkan aku hanya orang yang meminta fatwa dan kamulah Mufti sebenarnya. Ambillah seluar dan pakaian ini.” aku sang Qadli mengakhiri debat itu

Lalu si pencuri yang ahli fiqih itu mengambil seluar dan pakaian tersebut, kemudian berlalu. Sementara Qadli masih berdiri di tempatnya hingga akhirnya ada orang yang mengenalnya.

Qadli berkata, “Sesungguhnya ia adalah seorang ahli fiqih yang disanjung. Namun masa membuatnya pensiun(eseorang yang sudah tidak bekerja lagi karena usianya sudah lanjut dan harus diberhentikan, ataupun atas permintaan sendiri (pensiun muda). hingga akhirnya melakukan apa yang telah dilakukannya tersebut.”

Akhirnya, sang Qadli mengutus seorang utusan kepadanya, memuliakannya serta memberikan bantuan terhadap kehidupan sehariannya.

(SUMBER: Mi`ah Qishsshah Wa Qishshah Fii Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, juz.II, h.62-65)

Di Surga Kita Kan Bersua

Dari Rajâ` bin ‘Umar an-Nakha’iy, dia berkata,
“Di Kufah ada seorang pemuda berparas tampan, sangat rajin beribadah dan sungguh-sungguh. Dia juga termasuk salah seorang Ahli Zuhud. Suatu ketika, dia singgah beberapa waktu di perkampungan kaum Nukha’ lalu –tanpa sengaja- matanya melihat seorang wanita muda mereka yang berparas elok nan rupawan. Ia pun tertarik dengannya dan akalnya melayang-layang karenanya. Rupanya, hal yang sama dialami si wanita tersebut. Pemuda ini kemudian mengirim utusan untuk melamar si wanita kepada ayahnya namun sang ayah memberitahukannya bahwa dia telah dijodohkan dengan anak pamannya (sepupunya). Keadaan ini membuat keduanya begitu tersiksa dan teriris.

Lalu si wanita mengirim utusan kepada si pemuda ahli ibadah tersebut berisi pesan, ‘Sudah sampai ke telingaku perihal kecintaanmu yang teramat dalam kepadaku dan cubaan ini begitu berat bagiku disertai liputan perasaanku terhadapmu. Jika berkenan, aku akan mengunjungimu atau aku permudah jalan bagimu untuk datang ke rumahku.’ Lantas dia berkata kepada utusannya itu, ‘Dua-duanya tidak akan aku lakukan. Dia kemudian membacakan firman-Nya, ‘Sesungguhnya aku takut siksaan pada hari yang agung jika berbuat maksiat kepada Rabbku.’ (Q.s.,az-Zumar:13) Aku takut api yang lidahnya tidak pernah padam dan jilatannya yang tak pernah diam.’

Tatkala si utusan kembali kepada wanita itu, dia lalu menyampaikan apa yang telah dikatakan pemuda tadi, lantas berkatalah si wanita,
‘Sekalipun yang aku lihat darinya dirinya demikian namun rupanya dia juga seorang yang amat zuhud, takut kepada Allah? Demi Allah, tidak ada seorang pun yang merasa dirinya lebih berhak dengan hal ini (rasa takut kepada Allah) dari orang lain. Sesungguhnya para hamba dalam hal ini adalah sama.’

Kemudian dia meninggalkan gemerlap dunia, membuang semua hal yang terkait dengannya, mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu (untuk menampakkan kezuhudan) dan berkonsentari dalam ibadah. Sekalipun demikian, dia masih hanyut dan menjadi kurus kering karena cintanya terhadap si pemuda serta perasaan kasihan terhadapnya hingga akhirnya dia meninggal dunia karena memendam rasa rindu yang teramat sangat kepadanya.

Sang pemuda tampan pun sering berziarah ke kuburnya. Suatu malam, dia melihat si wanita dalam mimpi seolah dalam penampilan yang amat bagus, seraya berkata kepadanya, ‘Bagaimana kabarmu dan apa yang engkau temukan setelahku.?’ Si wanita menjawab,
Sebaik-baik cinta, adalah cintamu wahai kekasih
Cinta yang menggiring kepada kebaikan dan berbuat baik

Kemudian dia bertanya lagi, ‘Ke mana kamu akan berada.?’ Dia menjawab,
Ke kenikmatan dan hidup yang tiada habisnya
Di surga nan kekal, milik yang tak pernah punah

Dia berkata lagi kepadanya, ‘Ingat-ingatlah aku di sana karena aku tidak pernah melupakanmu.’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, akupun demikian. Aku telah memohon Rabbku, Mawla -ku dan kamu, lantas Dia menolongku atas hal itu dengan kesungguhan.’ Kemudian wanita itupun berpaling. Lantas aku berkata kepadanya, ‘bila aku boleh melihatmu.?’ Dia menjawab, ‘Engkau akan mendatangi kami dalam waktu dekat.’

Rupanya benar, pemuda itu tidak hidup lama lagi setelah mimpi itu, hanya tujuh malam. Dan, setelah itu, dia pun menyusul, berpulang ke rahmatullah. Semoga Allah merahmati keduanya.

(Sumber: al-Maw’id Jannât an-Na’îm karya Ibrâhîm bin ‘Abdullah al-Hâzimy, ha.14-15, sebagai yang dinukilnya dari bukunya yang lain berjudul Man Taraka Syai`an Lillâh ‘Awwadlahullâh Khairan Minhu)

Contoh Keberanian Para Ulama Di Hadapan Penguasa

1. Dikisahkan bahwa Hisyâm bin ‘Abdul Malik datang ke Baitullah, Ka’bah untuk melakukan manasik haji. Ketika masuk ke Masjid al-Haram, dia berkata, “Tolong hadirkan ke hadapanku salah seorang dari kalangan para shahabat.!”
Lalu ada orang yang menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, mereka semua sudah meninggal dunia.”

Lalu dia berkata lagi, “Kalau begitu, dari kalangan tabi’in saja.”

Maka dihadirkanlah Thâwûs al-Yamâny. Tatkala menemui sang Amir, dia mencopot kedua sandalnya di pinggir permadaninya dengan tidak memberi salam terlebih dahulu dan tidak pula memanggilnya dengan julukannya (kun-yah), lantas duduk di sampingnya tanpa idzin pula seraya berujar,
“Bagaimana kabarmu wahai Hisyâm.?”

Maka meledaklah kemarahan sang Amir sehingga ia hampir saja berkeinginan untuk membunuhnya, namun kemudian ada yang mencegahnya seraya berkata,
“Wahai Amirul Mukminin, engkau saat ini berada di kawasan Haram Allah dan Rasul-Nya (Ka’bah) yang tidak boleh hal itu terjadi.”

Maka Hisyam berkata, “Wahai Thâwûs, apa yang mendorongmu untuk berbuat seperti itu tadi.?”
“Apa gerangan yang telah aku perbuat,?” balas Thâwûs

“Engkau telah mencopot kedua sandalmu di pinggir permadaniku, tidak memberi salam dengan menyapa, ‘Wahai Amirul Mukminin,’ tidak memanggilku dengan julukanku lalu duduk di sampingku tanpa idzin,” kata Hisyâm

“Adapun kenapa aku mencopot kedua sandalku di pinggir permadanimu, karena aku sudah biasa mencopotnya kala berada di hadapan Allah Ta’ala setiap hari, sebanyak lima kali akan tetapi Dia tidak mencela ataupun marah kepadaku. Adapun ucapanmu ‘engkau tidak memberi salam kepadaku dengan menyapa, ‘wahai Amirul Mukminin’’ karena tidak setiap Muslim setuju atas naiknya engkau ke tampuk kekuasaan. Jadi, aku takut kalau menjadi seorang pendusta (dengan menyapamu sebagai Amir semua orang-orang beriman-red.,). Mengenai perkataanmu ‘engkau tidak memanggilku dengan julukanku’ karena Allah Ta’ala juga menamai para Nabi-Nya, lalu memanggi mereka; ‘wahai Daud’ ‘wahai Yahya’ ‘wahai ‘Isa’ bahkan Dia malah menyebut musuh-musuh-Nya dengan julukan dalam firman-Nya, ‘Celakalah tangan Abu Lahab.’ Sedangkan ucapanmu, ‘kamu duduk di sampingku (tanpa idzin), maka hal itu karena aku telah mendengar ‘Aly bin Abi Thalib RA., berkata, ‘Bila kamu ingin melihat salah seorang penghuni neraka, maka lihatlah kepada seorang yang duduk sementara orang-orang di sekitarnya berdiri menghormatinya,” jawab Thâwûs

Kemudian Hisyam berkata, “Kalau begitu, nasehatilah aku.”
Maka Thâwûs berkata, “Aku mendengar ‘Aly bin Abi Thalib RA., berkata, ‘Sesungguhnya di neraka Jahannam terdapat ular-ular dan kalajengking seperti bagal (peranakan antara kuda dan keledai) yang mematuk setiap Amir (Penguasa) yang tidak berlaku adil terhadap rakyatnya.”

2. Diriwayatkan bahwa Abu Ghayyâts, seorang ahli zuhud selalu tinggal di sekitar pekuburan Bukhara, lalu suatu ketika datang ke kota untuk mengunjungi saudaranya. Kebetulan bersamaan dengan itu, putera-putera Amir Nashr bin Muhammad (penguasa setempat) barusan keluar dari kediamannya bersama para biduan dan alat-alat bermain mereka. Tatkala melihat mereka, sertamerta Abu Ghayyâts berkata,
“Wahai diriku, telah terjadi sesuatu yang bila engkau diam, berarti engkau ikut andil di dalamnya.”

Lalu dia mengangkat kepalanya ke langit sembari memohon pertolongan Allah. Kemudian mengambil tongkat lalu menggebuki mereka secara serentak sehingga mereka pun lari kocar-kacir menuju kediaman sang penguasa (Amir). Setibanya di sana, mereka menceritakan kejadian tersebut kepada sang penguasa.

Maka, sang penguasa pun memanggil Abu Ghayyâts seraya berkata,
“Tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang membangkang terhadap penguasa, dia akan diberi makan siang di penjara.?”

“Tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang membangkang terhadap ar-Rahmân (Allah), dia akan makan malam di dalam neraka,?” balas Abu Ghayyâts

“Kalau begitu, siapa yang memberimu wewenang melakukan Hisbah (Amr Ma’ruf Nahi Munkar) ini,?” tanya Amir
“Dia adalah Yang telah mengangkatmu ke tampuk kekuasaan ini,” jawab Abu Ghayyâts

“Yang mengangkatku adalah sang Khalifah,” kata Amir
“Kalau begitu, Yang mengangkatku melakukan Hisbah adalah Tuhannya sang khalifah,” jawab Abu Ghayyâts

“Aku hanya mengangkatmu melakukan Hisbah di daerah Samarkand saja,” kata Amir
“Aku sudah mencopot diriku dari bertugas di sana,” jawab Abu Ghayyâts

“Aneh kamu ini, engkau melakukan Hisbah di tempat yang tidak diperintahkan kepadamu dan menolak melakukannya di tempat kamu diperintahkan,?” kata Amir lagi

“Sesungguhnya jika engkau yang mengangkatku, maka suatu ketika kamu akan mencopotku akan tetapi bila Yang mengangkatku adalah Rabbku, maka tidak akan ada seorangpun yang dapat mencopotku,” tegas Abu Ghayyâts pula

“Baiklah, sekarang mintalah apa keperluanmu,!” tanya Amir akhirnya
“Yang aku perlukan adalah kembali lagi ke masa muda,” kata Abu Ghayyâts

“Wah, itu bukan wewenangku, mintalah yang lain,!” kata Amir
“Kalau begitu, tulislah kepada Malaikat Malik, penjaga neraka, agar tidak menyiksaku kelak,” kata Abu Ghayyâts

“Wah, itu bukan wewenangku juga, mintalah yang lainnya,!” kata Amr
“Kalau begitu, tulislah kepada malaikat Ridlwân, penjaga surga, agar memasukkanku kelak ke dalam surga,!” jawab Abu Ghayyâts

“Wah, itu juga bukan wewenangku,” kata Amir lagi
“Kalau begitu, keperluanku hanya kepada Allah Yang merupakan Pemilik semua keperluan dan kebutuhan, Yang tidaklah aku meminta kepada-Nya suatu keperluan melainkan pasti Dia akan mengabulkannya,”jawab Abu Ghayyâts

Atas jawaban tegas dan brilian itu, akhirnya Abu Ghayyâts dibebaskan oleh sang Amir bahkan dia malah salut dengan keimanan dan keberaniannya.

(SUMBER: Buku Mi`ah Qishshah Wa Qishshah Fî Anîs ash-Shâlihîn Wa Samîr al-Muttaqîn disusun oleh Muhammad Amîn al-Jundy, Juz II, h.29-33)

Batu Masuk Ke Telinganya Beberapa Lama, Lalu Keluar

Dari Sa’id bin ‘Anbasah, ia berkata, “Tatkala seseorang sedang duduk sambil bermain-main dengan beberapa buah batu kerikil dan melempar-lemparnya, tiba-tiba ada yang mental dan masuk ke dalam telinganya. Orang itu terus berupaya dengan segala cara namun tidak berhasil mengeluarkannya. Beberapa batu itu masih belum bisa keluar dari dalam telinganya itu selama beberapa lama sehingga sangat menyiksanya. Hingga suatu ketika saat ia duduk, tiba-tiba mendengar seorang Qari membaca ayat Allah, (artinya) “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan…” (an-Naml:62) Maka berkatalah ia, “Ya Rabb, Engkaulah Yang Maha Memperkenankan doa itu, dan akulah pula orang yang dalam kesulitan itu, maka hilangkanlah kesusahan yang sedang kuderita ini.!” Tak berapa lama, tiba-tiba beberapa kerikil berjatuhan yang ada di dalam telinganya itu pun keluar. Subhanallah!”

(SUMBER: asy-Syifaa` Ba’da al-Maradl karya Ibrahim bin ‘Abdullah al-Hazimy, hal.43 sebagai yang dinukilnya dari al-Faraj Ba’da asy-Syiddah karya al-Qadli at-Tannukhy, Juz.I, hal.89)

cintaku....


segala piji bagi ALLAH....

Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.

Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang dilarang Allah dan Rasul-Nya Muhammad . Allah  berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
Rasulullah  dalam haditsnya dari shahabat Tsauban  mengatakan: ‘Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah  berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ Rasulullah  menjawab: ‘Cinta dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua negeri tersebut. Allah  memberitakan bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”

Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)

Hakikat Cinta
Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.

Cinta kepada Allah
Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:

“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah mengikuti Rasulullah , faidah dan buahnya adalah kecintaan Allah kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah  maka kecintaan Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah. Rasulullah  bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik :
“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:
Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.
Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.
Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.
Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah .
Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia).
Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.
Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah . (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)

Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah  berfirman:

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)

“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)
Adapun dalil dari hadits Rasulullah  adalah hadits Anas yang telah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”

Macam-macam cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam:
Pertama, cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.
Kedua, cinta syirik.
Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah berfirman:

“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

Ketiga, cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah berfirman:

“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)
Keempat, cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah  berfirman:

“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf: 8)
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.

Buah cinta
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  mengatakan: “Ketahuilah bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di  menyatakan: “Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)
Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.
Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram.
Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram.
Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.
Wallahu a’lam.

HAMBA YANG BERDOSA...


SEGALA PUJI BAGI ALLAH TUHAN SEKALIAN ALAM.....(RABBILA'LAMIN)

Wahai diri yang penuh lumpur dosa dan noda,
wahai diri yang selalu mengikut hawa nafsu dengan serakahnya,
wahai diri yang menjadikan kehidupan satu sia-sia,
wahai diri yang selalu menjadikan angan-angan satu persendaan,

ingatlah wahai diri yang penuh dosa dan noda,
bersegeralah taubat nasuha dengan secepat mungkin selagi matahari tidak terbit dari barat, dan nyawa tidak sampai lagi ke tengkorok. Kamu masih lagi boleh bertaubat pada-Nya. Dalam firman-Nya

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mu`min yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."(Al-Thrim:08)

Ingatlah wahai diri yang mengikut hawa nafsu,
bahawa sesungguhnya kita hidup di dunia ini hanya sementara sedangakn kehidupan di akhirat tiada penghujungnya. Itulah kampung kita, disitulah tempat pengadilan bagi setiap hambanya yang taat dan juga ingkar. Apa guna kita mengikut hawa nafsu yang tidak sudah2 menyuruh kita dalam melakukan kejahatan dan jauh dari kebenaran. firman ALLAH di dalam kitab-Nya yang mulia



Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu , Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,(AL-MAIDAH:48)

Ingatlah wahai diri yang hina,
janganlah kamu terperangkap dengan dunia yang menghidangkan perkara yang sia2
sedangkan kamu dalam kerugian di dunia dan juga akhirat.
Al-Imam syafie rahimaullah taala, pernah bermadah siapa inginkan dunia hendakalah berilmu, siapa inginkan akhirat hendaklah berilmu dan siapa yang inginkan dunia dan akhirat hendaklah berilmu.
wahai diri yang dhoif,

iNGATLAH......
Dunia lebih hina dari bangkai kambing
Dari Jabir ra, Rasulullah SAW bersabda, "Demi Allah sungguh dunia ini lebih hina dalam pandangan Allah daripada bangkai kambing dalam pandangan kalian." (HR.Muslim)

Dunia adalah penjara mukmin dan syurga bagi kaum kafir
Dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan syurga bagi orang-orang kafir." (HR.Muslim)

Dunia ibarat sayap nyamuk
Sahl bin Sa'ad As Sa'idy ra berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Andai kata dunia ini bernilai di sisi Allah sebesar sayap nyamuk, niscaya tidak akan diberikannya kepada orang kafir meski seteguk air." (HR.Tirmidzi)

SUBHANALLAH(MAHA SUCI ALLAH) WALHAMDULILLAH WALAILLAHAILLAH......

Saturday, November 20, 2010

Akhir Hidup Para Pendengki

Hasad (Dengki, iri hati, hasut) adalah penyakit lama yang telah mencelakakan banyak orang dan menyakiti mereka.

Pendengki akan selalu murka dan menindas orang yang tidak berdosa. Karena itu ada pepatah Arab mengatakan, “Allah telah membunuh Hasad, betapa adilnya Dia. Ia (dengki) memulai dengan tuannya sendiri (pendengki) lalu membunuhnya.”

‘Umar bin al-Khaththab RA berkata, “Cukuplah bagimu bahwa pendengki itu menggunakan kesempatan waktu sukamu.”

Allah Ta’ala berfirman dalam sebagian hadits Qudsi, “Pendengki adalah musuh nikmat-Ku, orang yang selalu jengkel terhadap perbuatan-Ku dan tidak rela terhadap pemberian (anugerah)-Ku.”

Orang-orang Arab sering berkata, “Seorang tuan tidak pernah luput dari seorang pengasih yang selalu memuji dan seorang pendengki yang selalu mencerca.”

Seorang Ahli fiqih bernama, Abu al-Laits as-Samarqandy RAH., berkata, “Ada lima sanksi yang akan sampai terlebih dahulu kepada si pendengki sebelum hasad (dengki)nya sampai kepada sasaran/targetnya (orang yang didengki); pertama, kegundahan yang tidak kunjung putus. Kedua, musibah yang tidak ada nilai pahalanya. Ketiga, celaan yang tidak ada pujiannya. Keempat, kemurkaan Rabb dan kelima, tertutup baginya pintu mendapatkan taufiq Allah.

Wahai saudara Muslim, bertakwalah kepada Allah pada dirimu dan janganlah suka menyakiti orang terhadap apa yang mereka tidak lakukan dengan cara manipulasi atau pun dusta. Ingatlah hari esok saat engkau berada di hadapan Allah Ta’ala.

Ingatlah bahwa dunia ini tidak berhak untuk menjadi tempat mendengki atau saling bermusuhan. Sedangkan engkau wahai orang yang menjadi sasaran/target (yang didengki), bersabarlah atas penyakit si pendengki sebab kesabaranmu akan membunuhnya. Ibarat api; bila tidak mendapatkan sasaran lain, maka akan melahap sebagian dirinya sendiri.

Ambillah pelajaran dari kisah berikut ini dan simaklah dengan baik:

Menurut suatu riwayat, ada seorang laki-laki, seorang Arab Badui (pedalaman) datang menemui Amirul Mukminin, al-Mu’tashim Billah. Lalu kemudian orang ini mendapat tempat di hati Amirul Mukminin sehingga dijadikan sebagai orang kepercayaannya yang bisa keluar-masuk istana kapan saja tanpa perlu meminta izin.

Di istana, rupanya ada seorang menteri yang suka dengki terhadap orang lain. Sasarannya kali ini adalah si orang Badui tersebut. Ia berkata dalam hatinya, “Jika aku tidak merancang bagaimana cara membunuh si Badui ini, pastilah ia akan semakin mendapat tempat di hati Amirul Mukmin dan menyingkirkanku.”

Lalu dimulailah siasat liciknya dengan mendekati si orang Badui, bermanis-manis dengannya hingga mengajaknya bertandang ke kediamannya. Sesampainya di sana, ia menyediakan untuk tamunya, si orang Badui ini makanan yang dicampurnya dengan banyak sekali bawang putih. Si orang Badui ini tidak menyadari siasat licik sang Menteri sehingga ia memakan saja hidangan tersebut. Tatkala selesai makan, berkatalah sang Menteri kepadanya, “Hati-hati, jangan terlalu dekat jarakmu dengan Amirul Mukminin kalau berbicara sebab nanti ia akan mencium bau bawang putih dari mulutmu sehingga ia merasa terganggu. Ia orang yang sangat anti terhadap bau bawang.”

Dalam waktu yang sama, sang menteri yang pendengki ini kemudian pergi menghadap Amirul Mukminin guna melancarkan hasutannya. Begitu hanya tinggal berdua saja dengan Amirul Mukminin, ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya si orang Badui itu berkata tentangmu kepada orang-orang bahwa engkau memiliki bau mulut tak sedap dan ia hampir mati karena bau tersebut.”

Tak berapa lama, si Badui datang menemuinya namun tidak seperti biasanya. Ia menutupi mulutnya dengan lengan bajunya karena takut Amirul Mukminin mencium bau bawang putih dari mulutnya. Akan halnya, Amirul Mukminin –akibat hasutan sang menteri pendengki- melihat gejala yang tidak beres dan membenarkan apa yang dikatakan sang menteri kepadanya mengenai si Badui tersebut.

Lalu Amirul Mukminin menulis surat kepada sebagian pegawainya yang berisi pesan, “Bila suratku ini sampai ke tanganmu, maka penggallah leher pembawanya.!”

Kemudian ia memanggil si orang Badui dan menyerahkan surat yang ditulisnya seraya berkata, “Pergilah menemui si fulan dan bawa kepadaku jawabannya.”

Tanpa rasa curiga sedikitpun, si Badui melaksanakan titah tersebut. Ia lalu mengambil surat itu dan membawanya keluar dari sisi Amirul Mukminin. Baru saja ia muncul di pintu, tiba-tiba sang Menteri pendengki menemuinya seraya bertanya, “Hendak pergi ke mana engkau.?”
“Aku akan membawa surat Amirul Mukminin ini kepada seorang pegawainya, si fulan,” jawab si Badui

Sang menteri diam sejenak seraya berkata di dalam hatinya, “Pastilah dari membawa amanat ini, si Badui akan mendapatkan upah yang besar.” Maka tak berapa lama, ia berkata lagi kepada si Badui,
“Wahai Badui, bagaimana pendapatmu bila ada orang yang mau meringankan bebanmu membawa surat ini yang pasti menempuh perjalanan yang melelahkan bahkan memberimu upah sebesar 2000 dinar.?”
“Engkau seorang pembesar dan pemutus perkara. Apa pun yang engkau pandang baik, maka aku akan melakukannya,” jawab si Badui
“Berikanlah surat itu kepadaku,” kata sang menteri

Si orang Badui pun menyerahkan surat itu kepadanya, lalu sang menteri memberinya imbalan sebesar 2000 dinar. Setelah itu pergilah si pendengki ini membawa surat itu ke tempat tujuan. Sesampainya di sana, si pegawai yang dimaksud membaca surat Amirul Mukminin yang berisi pesan agar memenggal leher pembawanya, lalu memerintahkan agar leher sang menteri tersebut dipenggal.

Setelah beberapa hari, sang khalifah teringat kembali perkara si Badui, lalu bertanya kepada para pegawainya perihal sang menteri namun mereka memberitahukan bahwa sudah beberapa hari sang menteri tidak muncul-muncul sedangkan si Badui masih berada di dalam kota.

Mendengar hal itu, kagetlah sang khalifah lalu memerintahkan agar si Badui segera dihadirkan ke hadapannya. Tak berapa lama, datanglah si Badui, lalu ia menanyainya perihal kondisinya. Si Badui pun menceritakan kejadiannya dari awal soal kesepakatannya dengan sang menteri yang tanpa sepengetahuan khalifah (alias kesepakatan bahwa yang akan membawa surat itu adalah sang menteri sedangkan dirinya diimbali dengan 2000 dinar atas hal itu).

Ternyata, sang menteri melakukan itu secara makar dan karena rasa dengkinya. Si Badui juga memberitahu sang khalifah perihal ajakan sang menteri ke kediamannya dan hidangan yang berisi bawang putih yang banyak, yang dimakannya di sana serta apa yang terjadi bersamanya saat itu.

Maka ketika itu, berkatalah Amirul Mukminin, “Allah telah membunuh Hasad, betapa adilnya Dia. Ia (dengki) memulai dengan tuannya sendiri (pendengki) lalu membunuhnya.”

Kemudian sang khalifah mencabut hukuman terhadap si Badui dan malah mengangkatnya menjadi menteri sedangkan sang menteri sudah beristirahat dengan sifat dengkinya nun di sana…

(SUMBER; Nihaayah azh-Zhaalimiin karya Ibrahim bin ‘Abdullah al-Hazimy, Juz.III, no.64, hal.89-92)