Tuesday, February 22, 2011

ABU AL HASAN AL ASY'ARI

Beliau bernama 'Ali bin Isma'il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Isma'il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Burdah bin Musa Al Asy'ary, lebih dikenal dengan Abu Al Hasan Al Asy'ary. Dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah atau 875 Masehi, pada akhir masa daulah Abbasiyah yang waktu itu berkembang pesat berbagai aliran ilmu kalam, seperti : al Jahmiyah, al Qadariyah, al Khawarij, al Karamiyah, ar Rafidhah, al Mu'tazilah, al Qaramithah dan lain sebagainya.
Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian ibunya menikah dengan seorang tokoh Mu'tazilah bernama Abu 'Ali Al Jubba'i. Beliau (Abul Hasan) seorang yang cerdas, hafal Al Qur'an pada usia belasan tahun dan banyak pula belajar hadits. Pada akhirnya beliau berjumpa dengan ulama salaf bernama al Barbahari (wafat 329 H). inilah yang akhirnya merubah jalan hidupnya sampai beliau wafat pada tahun 324 H atau 939 M dalam usia 64 tahun.
Abu al Hasan al Asy'ary dan Mu'tazilah
Pada mulanya, selama hampir 40 tahun, beliau menjadi penganut Mu'tazilah yang setia mengikuti gurunya seorang tokoh Mu'tazilah yang juga ayah tirinya. Namun dengan hidayah Allah setelah beliau banyak merenungkan ayat-ayat Al Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah, beliau mulai meragukan terhadap ajaran Mu'tazilah. Apalagi setelah dialog yang terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Abu 'Ali al Jubba'i dan setelah mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau secara tegas keluar dari Mu'tazilah.
Inti ajaran faham Mu'tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber kepada suatu yang "qath'i" dan sesuatu yang qath'i harus sesuatu yang masuk akal (rasional). Itulah sebabnya maka kaum Mu'tazilah menolak ajaran al Qur'an apalagi as Sunna yang tidak sesuai dengan akal (yang tidak rasional). Sebagaimana penolakan mereka terhadap mu'jizat para nabi, adanya malaikat, jin dan tidak percaya adaya takdir. Mereka berpendapat bahwa sunnatullah tidak mungkin dapat berubah, sesuai dengan firman Allah :
Tidak akan ada perubahan dalam sunnatillah (Al Ahzab:62; lihat juga Fathir:43 dan Al Fath:23).
Itulah sebabnya mereka tidak percaya adanya mu'jizat, yang dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila benar ada mu'jizat berarti Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.
Sudah barang tentu pendapat seperti ini bertentangan dengan apa yang dikajinya dari al Qur'an dan as Sunnah. Bukankah Allah menyatakan bahwa dirinya :
(Allah) melakukan segala apa yang Dia kehendaki (Hud : 107)
untuk kehidupan manusia Allah telah memberikan hukum yang dinmakan sunnatullah dan bersifat tetap. Tetapi bagi Allah berlaku hukum pengecualian, karena sifat-Nya sebagai Pencipta yang Maha Kuasa. Allah adalah Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi manusia jelas berbeda dengan hukum yang berlaku bagi Allah. Bukankah Allah dalam mencipta segala sesuatu tidak melalui hukum sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan manusia ? Allah telah menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup. Adakah yang dilakukan Allah dapat dinilai secara rasional ?
itulah diantara hal-hal yang dibahas oleh Abu Al-Hasan Al Asy'ary dalam segi aqidah dalam rangka koreksi terhadap faham mu'tazilah, disamping masalah takdir, malaikat dan hal-hal yang termasuk ghaibiyat.
Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba'i yang terkenal adalan mengenai, apakah perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau di ta'lilkan atau tidakl. Faham Mu'tazilah berpendapat bahwa perbuatan Allah dapat dita'lilkan dan diuraikan hikmahnya. Sedangkan menurut pendapat Ahlus Sunnah tidak. Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu Ali al Jubba'i
Al Asy'ary (A) : Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang kafir menurut tuan?
Al Jubba'i (B) : Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam surga karena imannya dan orang kafir masuk ke dalam neraka.
A : Bagaimana dengan anak kecil?
B : anak kecil tidak akan masuk neraka
A : dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang mukmin?
B : tidak, karena tidak pernah berbuat baik
A : kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa ia tidak diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan
B : Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau hidup, engkau akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan selamat.
A : kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar selamat dari neraka.
Abu Ali Al Jubba'i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat diandalkan.
Abu al Hasan Al Asy'ary dalam meninjau masalah ini selalu berdasar kepada sunnah Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang dicetuskannya lebih dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Abu al Hasan al Asy'ary Pencetus Faham Asy'ariyah
Namun karena pengaruh yang cukup dalam dari faham Mu'tazilah, pada mulanya cetudan pendapat Abu al Hasan sedikit banya dipengaruhi oleh Ilmu Kalam. Keadaan seperti ini sangat dimaklumi karena tantangan yang beliau hadapi adalah kelompok yang selalu berhujjah kepada rasio, maka usaha beliau untuk koreksi terhadap Mu'tazilah juga berusaha dengan memberikan jawaban yang rasional. Setidak-tidaknya beliau berusaha menjelaskan dalil-dalil dari Al Qur'an atau As Sunnah secara rasional. Hal ini dapat dilihat ketika beliau membahas tentang sifat Allah dalam beberapa hal beliau masih menta'wilkan sebagiannya. Beliau menyampaikan pendapatnya tentang adanya sifat Allah yang wajib menurut akal.
Pada mulanya manhaj Abul Hasan Al Asy'ary dalam bidang aqidah menurut pengkuan secara teoritis pertama berdasarkan naqli atau wahyu yang terdiri dari Al Qur'an dan Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua berdasarkan akal. Namun dalam prakteknya lebih mendahulukan akal daripada naql. Hal ini terbukti masih menggunakan penta'wilan terhadap ayat-ayat Al Qur'an tentang sifat-sifat Allah, misalnya: yadullah diartikan kekuatan Allah, istiwa-u Llah dikatakan pengasaan dan sebagainya. Contoh lain misalnya dalam menetapkan dua puluh sifat wajib bagi Allah, diawali dengan menetapkan hanya tiga sifat wajib, kemudian berkembang dalam menyinmpulkan menjadi lima sifat, tujuh sifat, dua belas sifat atau dan akhirnya dua puluh sifat atau yang lebih dikenal dengan "Dua puluh Sifat Allah". Dari dua puluh sifat itu tujuh diantaranya dikatakan sebagai sifat hakiki sedang tigabelas yang lain sifat majazi. Penetapan sifat hakiki dan majazi adalah berdasarkan rasio.
Dikatakannya, penetapan tujuh sifat hakiki tersebut karena bila Allah tidak memilikinya berarti meniadakan Allah. Ketujuh sifat hakiki tersebut adalah hayyun bihayatin, alimun bi ilmin, qadirun bi qudratin, sami'un bi sam'in, basyirun bi basharin, mutakallimun bi kalamin dan muridun bi iradatin. Sedangkan mengenai tiga belas sifat majazi bila dikatakan sebagai sifat hakiki berarti tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk.
Ketika ditanyakan :"Bagaimana menetapkan sifat hakiki tersebut, sedangkan sifat itu secara lafziah sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk?" Jawabannya: "Sifat-sifat tersebut dari segi lafaz sama dengan makhluk, namun bagi Allah SWT mempunyai arti 'maha' sesuai dengan kedudukan Allah yang Maha Kuasa." Kalau demikian seharusnya tidak perlu kawatir dalam menerapkan tiga belas sifat yang lain dengan mengatakannya sebagai sifat hakiki bukan ditetapkan sebagai majazi, dengan pengertian sebagaimana dalam menetapkan tujuh sifat hakiki tersebut diatas, yakni walaupun sifat-sifat Allah dari segi lafaz sama seperti sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia, namun sifat itu bila dinisbahkan kepada Allah akan mempunyai arti Maha.
Abu Al Hasan Al Asy'ary kembali ke Salaf
Pada akhirnya setelah banyak berdialog dengan seorang bernama Al Barbahari (wafat 329 H), Abul Hasan Al Asy'ary menyadari kekeliruannya dalam pemahaman aqidah terutama dalam menetapkan sifat-sifat Allah dan hal lain tentang ghaibiyat. Empat tahun sebelum beliau wafat beliau mulai menulis buku "Al Ibanah fi Ushul Al-Diyanah" merupakan buku terakhir beliau sebagai pernyataan kembali kepada faham Islam sesuai dengan tununan salaf. Namun buku ini tidak sempat terbahas secara luas di kalangan umat Islam yang telah terpengaruh oleh pemikiran beliau sebelumnya.
Untuk mengenal lebih jauh tentang kaidah pemikiran beliau di bidang aqidah sesudah beliau kembali ke metode pemikiran salaf yang kemudian lebih dikenal dengan Salafu Ahli As Sunnah wa Al Jama'ah, beliau merumuskannya dalam tiga kaidah sebagai berikut:
1. Memberikan kebebasan mutlak kepada akal sama sekali tidak dapat memberikan pembelaan terhadap agama. Mendudukkan akal seperti ini sama saja dengan merubah aqidah. Bagaimana mungkin aqidah mengenai Allah dapat tegak jika akal bertentangan dengan wahyu.
2. Manusia harus beriman bahwa dalam urusan agama ada hukum yang bersifat taufiqi, artinya akal harus menerima ketentuan wahyu. Tanpa adanya hukum yang bersifat taufiqi maka tidak ada nilai keimanan.
3. Jika terjadi pertentangan antara wahyu dan akal maka wahyu wajib didahulukan dan akal berjalan dibelakang wahyu. Dan sama sekali tidak boleh mensejajarkan akal dengan wahyu apalagi mendahulukan akal atas wahyu.
Adapun manhaj Abul Hasan dalam memahami ayat (tafsir) adalah sebagai berikut:
1. Menafsirkan ayat dengan ayat.
2. Menafsirkan ayat dengan hadits
3. Menafsirkan ayat dengan ijma'.
4. Menafsirkan ayat dengan makna zahir tanpa menta'wilkan kacuali ada dalil.
5. Menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, untuk itu dalam memahami Al Quran harus berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab.
6. Menafsirkan ayat dengan berpedoman kepada asbabun-nuzul dari ayat tersebut
7. Menjelaskan bahwa isi ayat Al Quran ada yang umum dan ada yang khusus, kedua-duanya harus ditempatkan pada kedudukannya masing-masing.
Banyak sekali buku-buku karya Abul Hasan Al Asy'ary. Yang ditulis beliau sebelum tahun 320 (sebelum kembali kepada manhaj salaf) lebih dari 60 buku. Sedangkan yang ditulis sesudah tahun 320 hampir mencapai 30 buah buku, diantara yang terakhir ini adalah Al Ibanah fi Ushul Ad Diyanah. Wallahu A'lam.
Dinukil dari tulisan Abu Ibrahim, As Sunnah No.01/Th.I Nov 1992.

'Urwah bin az-Zubair" (Abdul Malik bin Marwan)

(Kakinya Dipotongg Dengan Gergaji, Karena Menolak Khamar Dan Bius)

"Barangsiapa ingin melihat seseorang dari ahli Surga, hendaklah ia melihat 'Urwah bin az-Zubair" (Abdul Malik bin Marwan)

Baru saja matahari petang itu memancarkan sinarnya di Baitul Haram dan mempersilahkan jiwa-jiwa yang bening untuk mengunjungi buminya yang suci tatkala sisa-sisa para sahabat Rasulullah SAW dan para pembesar tabi'in mulai berthawaf di sekeliling Ka'bah, mengharumkan suasana dengan pekikan tahlil dan takbir dan memenuhi hamparan dengan do'a-do'a kebaikan.

Dan tatkala orang-orang membuat lingkaran per-kelompok di sekitar Ka'bah nan agung, yang berdiri kukuh di tengah Baitul Haram dalam keadaan yang berwibawa dan agung. Mereka memenuhi pandangan dengan keindahannya yang memikat, dan memoderator pembicaraan-pembicaraan di antara mereka tanpa kegusaran dan perkataan dosa.

Di dekat Rukun Yamani, duduklah empat orang pemuda yang masih remaja dan terhormat nasabnya serta berbaju harum seakan-akan mereka bagaikan merpati-merpati masjid, berbaju mengkilat dan membuat hati senang kerananya.

Mereka itu adalah 'Abdullah bin az-Zubair, saudaranya; Mus'ab bin az-Zubair, saudara mereka berdua; Urwah bin az-Zubair dan Abdul Malik bin Marwan.
Terjadi perbincangan ringan dan sejuk di antara anak-anak muda ini, lalu tidak lama kemudian salah seorang di antara mereka berkata,

"Hendaklah masing-masing dari kita memohon kepada Allah apa yang hendak dia cita-citakan."

Maka khayalan mereka terbang ke alam ghaib nan luas, angan-angan mereka berputar-putar di taman-taman harapan nan hijau, kemudian Abdullah bin az-Zubair berkata,

"Cita-citaku, aku ingin menguasai Hijaz dan memegang khilafah."

Saudaranya, Mus'ab berkata,
"Kalau aku, aku ingin menguasai dua Iraq (Kufah dan Bashrah) sehingga tidak ada orang yang menyaingiku."

Sedangkan Abdul Malik bin Marwan berkata,
"Jika anda berdua hanya puas dengan hal itu saja, maka aku tidak akan puas kecuali menguasai dunia semuanya dan aku ingin memegang kekhilifahan setelah Muawiyah bin Abi Sufyan."

Sementara 'Urwah bin az-Zubair terdiam dan tidak berbicara satu kalimat pun, maka saudara-saudaranya tersebut menoleh ke arahnya dan berkata,
"Apa yang kamu cita-citakan wahai Urwah?"

Dia menjawab, "Mudah-mudahan Allah memberkati kalian semua terhadap apa yang kalian cita-citakan dalam urusan dunia kalian. Sedangkan aku hanya bercita-cita ingin menjadi seorang 'alim yang 'Amil (Mengamalkan ilmunya), orang-orang belajar Kitab Rabb, Sunnah Nabi dan hukum-hukum agama mereka kepadaku dan aku mendapatkan keberuntungan di akhirat dengan ridla Allah dan mendapatkan surga-Nya."

Kemudian waktu pun berjalan begitu cepat, sehingga memang kemudian Abdullah bin az-Zubair dibai'at menjadi Khalifah setelah kematian Yazid bin Muawiyah (Khalifah ke dua dari khilafah Bani Umayyah), dan dia pun menguasai kawasan Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan dan Iraq. Kemudian dia dibunuh di sisi Ka'bah tidak jauh dari tempat dimana dia pernah bercita-cita tentang hal itu.

Dan ternyata Mus'ab bin Az-Zubair pun menguasai pemerintahan Iraq sepeninggal saudaranya, 'Abdullah namun dia juga dibunuh di dalam mempertahankan kekuasaannya tersebut.

Demikian pula, Abdul Malik bin Marwan memangku jabatan Khalifah setelah ayahnya wafat, dan di tangannya kaum Muslim bersatu setelah pembunuhan terhadap 'Abdullah bin az-Zubair dan saudaranya, Mus'ab di tangan pasukan-pasukannya. Kemudian dia menjadi penguasa terbesar di dunia pada zamannya.

Lalu bagaimana dengan 'Urwah bin Az-Zubair? Mari kita mulai kisahnya dari pertama.

'Urwah bin az-Zubair dilahirkan setahun sebelum berakhirnya kekhilafahan Umar al-Faruq, di dalam keluarga paling terpandang dan terhormat kedudukannya dari sekian banyak keluarga-keluarga kaum muslimin.

Ayahnya adalah az-Zubair bin al-'Awwam, sahabat dekat dan pendukung Rasulullah SAW, orang pertama yang menghunus pedang di dalam Islam dan salah satu dari sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga.

Ibunya bernama Asma` binti Abu Bakar yang bergelar berjuluk "Dzatun Nithaqain" (Pemilik dua ikat pinggang. Hal ini karena dia merobek ikat pinggangnya menjadi dua pada saat hijrah, salah satunya dia gunakan untuk mengikat bekal Rasulullah SAW dan yang satu lagi dia gunakan untuk mengikat bekal makanannya).

Datuknya (dari pihak) ibunya tidak lain adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Khalifah Rasulullah SAW dan sahabatnya ketika berada di dalam gua (Tsur). Neneknya(dari pihak) ayahnya bernama Shafiyyah binti Abdul Muththalib bibi Rasulullah SAW sedangkan bibinya adalah Ummul Mukminin 'Aisyah RA. Pada saat jenazah 'Aisyah dikubur, 'Urwah sendiri yang turun ke kuburnya dan meratakan liang lahadnya dengan kedua tangannya.

Apakah anda mengira bahwa setelah kedudukan ini, ada kedudukan lain dan bahwa di atas kemuliaan ini, ada kemuliaan lain selain kemuliaan iman dan kewibawaan Islam?

Untuk merealisasikan cita-cita yang telah diharapkannya perkenaan Allah atasnya saat di sisi Ka'bah itu, dia tekun di dalam mencari ilmu dan memfokuskan diri untuknya serta menggunakan kesempatan untuk menimba ilmu dari sisa-sisa para sahabat Rasulullah SAW yang masih hidup.

Dia rajin mendatangi rumah-rumah mereka, shalat di belakang mereka dan mengikuti pengajian-pengajian mereka, sehingga dia berhasil mentrasfer riwayat dari Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, Usamah bin Zaid, Sa'id bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas dan an-Nu'man bin Basyir. Dia banyak sekali mentransfer riwayat dari bibinya, 'Aisyah Ummul Mukminin sehingga dia menjadi salah satu dari tujuh Ahli fiqih Madinah (al-Fuqahâ` as-Sab'ah) yang menjadi rujukan kaum muslimin di dalam mempelajari agama mereka.

Para pejabat yang shaleh meminta bantuan mereka di dalam mengemban tugas yang dilimpahkan Allah kepada mereka terhadap urusan umat dan negara.
Di antara contohnya adalah tindakan Umar bin Abdul Aziz ketika datang ke Madinah sebagai gubernurnya atas mandat dari al-Walid bin Abdul Malik. Orang-orang datang kepadanya untuk menyampaikan salam.

Ketika selesai melaksanakan shalat dhuhur, dia memanggil sepuluh Ahli fiqih Madinah yang diketuai oleh 'Urwah bin Az-Zubair. Ketika mereka sudah berada di sisinya, dia menyambut mereka dengan sambutan hangat dan memuliakan tempat duduk mereka. Kemudian dia memuji Allah 'Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya dengan sanjungan yang pantas bagi-Nya, lalu berkata,

"Sesungguhnya aku memanggil kalian semua untuk sesuatu yang kiranya kalian semua diganjar pahala karenanya dan menjadi pendukung-pendukungku dalam berjalan di atas kebenaran. Aku tidak ingin memutuskan sesuatu tanpa pendapat kalian semua, atau pendapat orang yang hadir dari kalian-kalian semua. Jika kalian semua melihat seseorang menyakit orang lain, atau mendengar suatu kedzaliman dilakukan oleh pegawaiku, maka demi Allah, aku meminta agar kalian melaporkannya kepadaku."

Maka 'Urwah bin az-Zubair mendo'akan kebaikan baginyanya dan memohon kepada Allah agar menganugerahinya ketepatan (dalam bertindak dan berbicara) dan mendapatkan petunjuk.

'Urwah bin az-Zubair benar-benar menyatukan ilmu dan amal. Dia banyak berpuasa di kala hari demikian teriknya dan banyak shalat malam di kala malam gelap gulit, selalu membasahkan lisannya dengan dzikir kepada Allah Ta'ala.

Selain itu, dia selalu menyertai Kitab Allah 'Azza wa Jalla dan tekun membacanya. Setiap harinya, dia membaca seperempat al-Qur'an dengan melihat ke Mushafnya.

Kemudian dia membacanya di dalam shalat malam hari dengan hafalan.
Dia tidak pernah meninggalkan kebiasaannya itu semenjak menginjak remaja hingga wafatnya, kecuali satu kali disebabkan adanya musibah yang menimpanya. Mengenai apa musibah itu, akan dihadirkan kepada pembaca nanti.

Sungguh 'Urwah bin az-Zubair mendapatkan kedamaian hati, kesejukan mata dan surga dunia di dalam shalatnya, karenanya, dia melakukannya dengan sebaik-baiknya, melengkapi syarat rukunnya dengan sempurna dan berlama-lama di dalamnya.

Diriwayatkan tentangnya bahwa dia pernah melihat seorang yang sedang melakukan shalat dengan ringan (cepat), maka ketika orang itu telah selesai shalat, dia memanggilnya dan berkata kepadanya, "Wahai anak saudaraku, Apakah anda tidak mempunyai keperluan kepada Tuhanmu 'Azza wa Jalla?! Demi Allah sesungguhnya aku memohon kepada Allah di dalam shalatku segala sesuatu bahkan garam."

'Urwah bin Az-Zubair adalah juga seorang dermawan, pema'af dan pemurah. Di antara contoh kedermawanannya, bahwa dia mempunyai sebuah kebun yang paling luas di seantero Madinah. Airnya nikmat, pohon-pohonnya rindang dan kurma-kurmanya tinggi. Dia memagari kebunnya selama setahun untuk menjaga agar pohon-pohonnya terhindar dari gangguan binatang dan keusilan anak-anak. Dan, jika sudah datang waktu panen, buah-buahnya siap dipetik dan siap dimakan, dia menghancurkan kembali pagar kebunnya tersebut di banyak arah supaya orang-orang mudah untuk memasukinya.

Maka mereka pun memasukinya, datang dan kembali untuk memakan buah-buahnya dan membawanya pulang dengan sesuka hati. Dan setiap kali dia memasuki kebunnya ini, dia mengulang-ulang firman Allah, "Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu " MASYA ALLAH, LAA QUWWATA ILLA BILLAH" (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)" (Q.,s.al-Kahfi:39)

Dan pada suatu tahun dari kekhilafahan al-Walid bin Abdul Malik (khalifah ke enam dari khalifah-khalifah Bani Umayyah, dan pada zamannya kekuasaan Islam mencapai puncaknya), Allah Azza wa Jalla berkehendak untuk menguji 'Urwah bin az-Zubair dengan ujian yang berat, yang tidak akan ada orang yang mampu bertahan menghadapinya kecuali orang yang hatinya penuh dengan keimanan dan keyakinan.

Khalifah kaum muslimin mengundang 'Urwah bin az-Zubair supaya mengunjunginya di Damaskus, lalu Urwah memenuhi undangan tersebut dan membawa serta putra tertuanya.

Dan ketika sudah datang, Khalifah menyambutnya dengan sambutan yang hangat dan memuliakannya dengan penuh keagungan. Namun saat di sana, Allah SWT berkehendak lain, tatkala putra 'Urwah memasuki kandang kuda al-Walid untuk bermain-main dengan kuda-kudanya yang tangkas, lalu salah satu dari kuda itu menendangnya dengan keras hingga dia meninggal seketika.

Belum lama sang ayah yang bersedih menguburkan putranya, salah satu kakinya terkena tumor ganas (semacam kusta) yang dapat menjalar ke seluruh tubuh. Betisnya membengkak dan tumor itu dengan sangat cepat berkembang dan menjalar.

Karena itu, Khalifah memanggil para dokter dari segala penjuru untuk tamunya dan meminta mereka untuk mengobatinya dengan segala cara. Akan tetapi, para dokter sepakat bahwa tidak ada jalan lain untuk mengatasinya selain memotong betis 'Urwah, sebelum tumor itu menjalar ke seluruh tubuhnya dan merenggut nyawanya. Maka, tidak ada alasan lagi untuk tidak menerima kenyataan itu.

Ketika dokter bedah datang untuk memotong betis 'Urwah dan membawa peralatannya untuk membelah daging serta gergaji untuk memotong tulang, dia berkata kepada 'Urwah,

"Menurutku anda harus meminum sesuatu yang memabukkan supaya anda tidak merasa sakit ketika kaki anda dipotong."

Maka Urwah berkata,
"O..tidak, itu tidak mungkin! Aku tidak akan menggunakan sesuatu yang haram terhadap kesembuhan yang aku harapkan."

Maka dokter itu berkata lagi,
"Kalau begitu aku akan membius anda."

Urwah berkata,
"Aku tidak ingin, kalau ada satu dari anggota badanku yang diambil sedangkan aku tidak merasakan sakitnya. Aku hanya mengharap pahala di sisi Allah atas hal ini."

Ketika dokter bedah itu mulai memotong betis, datanglah beberapa orang tokoh kepada 'Urwah, maka 'Urwah pun berkata,
"Untuk apa mereka datang?."

Ada yang menjawab,
"Mereka didatangkan untuk memegang anda, barangkali anda merasakan sakit yang amat sangat, lalu anda menarik kaki anda dan akhirnya membahayakan anda sendiri."

Lalu 'Urwah berkata,
"Suruh mereka kembali. Aku tidak membutuhkan mereka dan berharap kalian merasa cukup dengan dzikir dan tasbih yang aku ucapkan."

Kemudian dokter mendekatinya dan memotong dagingnya dengan alat bedah, dan ketika sampai kepada tulang, dia meletakkan gergaji padanya dan mulai menggergajinya, sementara 'Urwah membaca, "Lâ ilâha illallâh, wallâhu Akbar."

Dokter terus menggergaji, sedangkan 'Urwah tak henti bertahlil dan bertakbir hingga akhirnya kaki itu buntung.

Kemudian dipanaskanlah minyak di dalam bejana besi, lalu kaki Urwah dicelupkan ke dalamnya untuk menghentikan darah yang keluar dan menutup luka. Ketika itulah, 'Urwah pingsan sekian lama yang menghalanginya untuk membaca jatah membaca Kitab Allah pada hari itu. Dan itu adalah satu-satunya kebaikan (bacaan al-Qur'an) yang terlewati olehnya semenjak dia menginjak remaja. Dan ketika siuman, 'Urwah meminta potongan kakinya lalu mengelus-elus dengan tangannya dan menimang-nimangnya seraya berkata,

"Sungguh, Demi Dzat Yang Mendorongku untuk mengajakmu berjalan di tengah malam menuju masjid, Dia Maha mengetahui bahwa aku tidak pernah sekalipun membawamu berjalan kepada hal yang haram."

Kemudian dia mengucapkan bait-bait sya'ir karya Ma'n bin Aus,

Demi Engkau, aku tidak pernah menginjakkan telapak tanganku pada sesuatu yang meragukan
Kakiku tidak pernah mengajakku untuk melakukan kekejian
Telinga dan mataku tidak pernah menggiringku kepadanya
Pendapatku dan akalku tidak pernah menunjuk kepadanya
Ketahuilah, sesungguhnya tidaklah musibah menimpaku sepanjang masa melainkan ia telah menimpa orang sebelumku

Al-Walid bin Abdul Malik benar-benar merasa sedih terhadap musibah yang menimpa tamu agungnya. Dia kehilangan putranya, lalu dalam beberapa hari kehilangan kakinya pula, maka al-Walid tidak bosan-bosan menjenguknya dan mensugestinya untuk bersabar terhadap musibah yang dialaminya.

Kebetulan ketika itu, ada sekelompok orang dari Bani 'Abs singgah di kediaman Khalifah, di antara mereka ada seorang buta, lalu al-Walid bertanya kepadanya perihal sebab kebutaannya, lalu orang itu mejawab,

"Wahai Amirul mukminin, di dalam komunitas Bani 'Abs tidak ada orang yang harta, keluarga dan anaknya lebih banyak dariku. Lalu aku bersama harta dan keluargaku singgah di pedalaman suatu lembah dari lembah-lembah tempat tinggal kaumku, lalu terjadi banjir besar yang belum pernah aku saksikan sebelumnya. Banjir itu menghanyutkan semua yang aku miliki; harta, keluarga dana anak. Yang tersisa hanyalah seekor onta dan bayi yang baru lahir. Sedangkan onta yang tersisa itu adalah onta yang binal sehingga lepas. Akibatnya, aku meninggalkan sang bayi tidur di atas tanah untuk mengejar onta tersebut. Belum begitu jauh aku meninggalkan tempat ku hingga tiba-tiba aku mendengar jeritan bayi tersebut. Aku menoleh namun ternyata kepalanya telah berada di mulut serigala yang sedang menyantapnya. Aku segera menyongsongnya namun sayang aku tidak bisa menyelamatkannya, karena srigala telah membunuhnya. Lalu aku mengejar onta dan ketika aku berada di dekatnya, ia menendangku dengan kakinya. Tendangan itu mengenai wajahku, sehingga keningku robek dan mataku buta. Begitulah aku mendapatkan diriku di dalam satu malam telah menjadi orang yang tanpa keluarga, anak, harta dan mata."

Maka al-Walid berkata kepada pengawalnya,
"Ajaklah orang ini menemui tamu kita 'Urwah bin az-Zubair. Mintalah dia mengisahkan ceritanya supaya 'Urwah mengetahui bahwa ternyata masih ada orang yang mengalami cobaan yang lebih berat darinya."

Ketika 'Urwah diangkut ke Madinah dan dipertemukan dengan keluarganya, dia mendahului mereka dengan ucapan,

"Jangan kalian merasa ngeri terhadap apa yang kalian lihat. Allah 'Azza wa Jalla telahmenganugerahuiku empat orang anak, lalu mengambil satu di antara mereka dan masih menyisakan tiga orang lagi. Segala puji hanya untuk-Nya. Dan Dia memberiku empat anggota badan, kemudian Dia mengambil satu darinya dan menyisakan tiga untukku, maka segala puji bagi-Nya. Dia juga telah memberiku empat buah yang memiliki ujung (kedua tangan dan kedua kaki-red.,), lalu Dia mengambilnya satu dan menyisakan tiga buah lagi untukku. Dan demi Allah, Jika pun Dia telah mengambil sedikit dariku namun telah menyisakan banyak untukku. Dan jika pun Dia mengujiku satu kali namun Dia telah mengaruniaiku kesehatan berkali-kali."

Ketika penduduk Madinah mengetahui kedatangan imam dan orang 'alim mereka, 'Urwah bin az-Zubair, mereka berbondong-bondong datang ke rumahnya untuk menghibur dan menjenguknya. Di antara untaian kata ta'ziah yang paling berkesan adalah perkataan Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah kepadanya,

"Bergembiralah wahai Abu Abdillah! salah satu anggota badan dan anakmu telah mendahuluimu menuju surga dan yang keseluruhannya akan mengikuti yang sebagiannya itu, insya Allah Ta'ala. Sungguh, Allah telah menyisakan sesuatu darimu untuk kami yang sangat kami butuhkan dan perlukan, yaitu ilmu, fiqih dan pendapat anda. Mudah-mudahan Allah menjadikan hal itu bermanfaat bagimu dan kami. Allah lah Dzat Yang Maha menanggung pahala untukmu dan Yang menjamin balasan kebaikan amalmu."

'Urwah bin az-Zubair tetap menjadi menara hidayah, petunjuk kebahagiaan dan penyeru kebaikan bagi kaum muslimin sepanjang hidupnya. Dia sangat peduli terhadap pendidikan anak-anaknya, khususnya, dan anak-anak kaum muslimin lainnya, umumnya. Dia tidak pernah membiarkan kesempatan berlalu tanpa digunakannya untuk memberikan penyuluhan dan nasehat kepada mereka.

Di antara contohnya, dia selalu mendorong anak-anaknya untuk menuntut ilmu ketika berkata kepada mereka,

"Wahai anakku, tuntutlah ilmu dan kerahkanlah segala kemampuan dengan semestinya. Karena, jika kamu sekarang ini hanya sebagai orang-orang kecil, mudahan-mudahan saja berkat ilmu, Allah menjadikan kamu orang-orang besar."

Penuturan lainnya,
"Aduh betapa buruknya, apakah di dunia ini ada sesuatu yang lebih buruk daripada orang tua yang bodoh?."

Dia juga menyuruh mereka untuk menilai sedekah sebagai hadiah yang dipersembahkan untuk Allah 'Azza wa Jalla. Yaitu, dalam ucapannya,

"Wahai anakku, janganlah sekali-kali salah seorang di antara kamu mempersembahkan hadiah kepada Rabb-nya berupa sesuatu yang dia merasa malu kalau dihadiahkan kepada tokoh yang dimuliakan dari kaumnya. Karena Allah Ta'ala adalah Dzat Yang Paling Mulia, dan Paling Dermawan serta Yang Paling Berhak untuk dipilihkan untuk-Nya."

Dia juga pernah memberikan pandangan kepada mereka (anak-anaknya) tentang tipikal manusia dan seakan mengajak mereka menembus langsung menuju siapa inti dari mereka itu,

"Wahai anakku, jika kamu melihat seseorang berbuat kebaikan yang amat menawan, maka harapkanlah kebaikan dengannya meskipun di mata orang lain, dia seorang jahat, karena kebaikan itu memiliki banyak saudara. Dan jika kamu melihat seseorang berbuat keburukan yang nyata, maka menghindarlah darinya meskipun di mata orang lain, dia adalah orang baik, karena keburukan itu juga memiliki banyak saudara. Dan ketahuilah bahwa kebaikan akan menunjukkan kepada saudara-saudaranya (jenis-jenisnya yang lain), demikian pula dengan keburukan."

Dia juga berwasiat kepada anak-anaknya supaya berlaku lemah lembut, berbicara baik dan bermuka ramah. Dia berkata,
"Wahai anakku, sebagaimana tertulis di dalam hikmah, 'Hendaklah kamu berkata-kata baik dan berwajah ramah niscaya kamu akan lebih dicintai orang ketimbang cinta mereka kepada orang yang selalu memberikan mereka hadiah."

Bilamana dia melihat manusia cenderung untuk berfoya-foya dan menilai baik kenikmatan duniawi, dia mengingatkan mereka akan kondisi Rasulullah SAW yang penuh dengan kesahajaan kehidupan dan kepapaan.

Di antara contohnya adalah sebagaimana yang diceritakan Muhammad bin al-Munkadir (seorang tabi'i dari penduduk Madinah, wafat pada tahun 130 H),

"Saat 'Urwah bin az-Zubair menemuiku dan memegang tanganku, dia berkata, 'Wahai Abu Abdullah.'
Lalu aku menjawab, "Labbaik."
Kemudian dia berkata,
"Saat aku menemui Ummul mukminin 'Aisyah RA, dia berkata, 'Wahai anakku.'
Lalu aku menjawab, 'Labbaik.'
Beliau berkata lagi, 'Demi Allah, sesungguhnya kami dahulu pernah sampai selama empat puluh malam tidak menyalakan api di rumah Rasulullah SAW, baik untuk lentera ataupun yang lainnya.'
Lalu aku berkata, 'Wahai Ummi, bagaimana kalian semua dapat hidup?'
Beliau menjawab, 'Dengan dua benda hitam (Aswadân); kurma dan air.'

Selanjutnya 'Urwah bin az-Zubair hidup hingga mencapai usia 71 tahun, yang diisinya dengan kebaikan, kebajikan dan ketakwaan.

Ketika ajal menjelang, dia sedang berpuasa, lalu keluarganya ngotot memintanyanya agar berbuka saja namun dia menolak. Sungguh dia telah menolak, karena dia berharap kalau kelak dia bisa berbuka dengan seteguk air dari sungai Kautsar di dalam bejana emas dan di tangan bidadari.


CATATAN :
Sebagai bahan bacaan, silahkan merujuk ke:

ath-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa'd, 1:406; 2:382, 387; 3:100; 4:167; 5:334; 8:102.
Hilyatu al-Auliya` karya Abu Nuaim, 2/176.
Shifat ash-Shafwah, karya Ibnu al-Jauzi, 2:87.
Wafayat al-A'yan, karya Ibnu Khalakan, 3: 255.
Ansabu al-Asyraf, karya al-Baladziri
Jamharatu Ansabi al-'Arab, karya Ibnu Hazm

Syeikh Abdul Qadir Al Jailani

Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang 'alim di Baghdad. Biaografi
beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor
134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga dengan
Kailan. Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al
Kailani atau juga Al Jiliy. Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib,
pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj. Beliau
meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih
muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama' seperti Ibnu Aqil,
Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al Muharrimi. Beliau
belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama'. Suatu ketika Abu Sa'ad Al
Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul
Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh.
Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada
tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau.
Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau.
Sehingga sekolah itu tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan.
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama' terkenal. Seperti Al Hafidz
Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga
Syeikh Qudamah penyusun kitab figh terkenal Al Mughni.

Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir,
beliau menjawab, " kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa
kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian
terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk
menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat
fardhu." Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan
sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. 1) Beliau adalah seorang
'alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal
banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang
membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa
kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, "thariqah" yang berbeda
dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantara perkataan
Imam Ibnu Rajab ialah, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang
diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik 'ulama dan
para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi ada
seorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri ( orang
Mesir ) 2) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara
yang aneh dan besar ( kebohongannya ). Cukuplah seorang itu berdusta, jika
dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini,
tetapi hatiku tidak tentram untuk beregang dengannya, sehingga aku
meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah
mansyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi
riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara
yang jauh ( dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan
perkataan yang batil tidak berbatas.3) semua itu tidak pantas dinisbatkan
kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan
bahwa Al Kamal Ja'far Al Adfwi4) telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi
sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab
ini."5) Imam Ibnu Rajab juga berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani
rahimahullah memiliki pendapat memiliki pendapat yang bagus dalam masalah
tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan
sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang
terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya
mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari
majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia
berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang
yang menyelisihi sunnah ." Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam
kitabnya, Al Ghunyah, " Dia ( Allah ) di arah atas, berada diatas 'arsyNya,
meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu." Kemudian
beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata " Sepantasnya
menetapkan sifat istiwa' ( Allah berada diatas 'arsyNya ) tanpa takwil (
menyimpangkan kepada makna lain ). Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah
diatas arsys."6) Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani, " Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali ( kekasih ) yang tidak
berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?" Maka beliau menjawab, "
Tidak pernah ada dan tidak akan ada."7)

Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu
menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj
Salaf.

Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota
Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab
ini pada masa hidup beliau."

Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam
Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih
dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus
ribu orang telah bertaubat."

Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan
Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan
bekiau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "
Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat
kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (
ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian
perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau."( Siyar XX/451 ).

Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh
yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh
Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak
benar bahkan ada yang mustahil terjadi ".

Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,
hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah.8) Maka aku mengetahui
dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat
Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah
kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan
kelompok lainnya dengan manhaj Salaf."9)

Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang 'alim Salafi, Sunni, tetapi
banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau.
Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a'lam
bishshawwab.

Kesimpulannya beliau adalah seorang 'ulama besar. Apabila sekarang ini
banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka suatu
kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan
derajat beliau di atas Rasulullah n, maka hal ini merupakan kekeliruan.
Karena Rasulullah n adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan
rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun.

Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani
sebagai wasilah ( perantara ) dalam do'a mereka. Berkeyakinan bahwa do'a
seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini
juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meningal sebagai perantara,
maka tidak ada syari'atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang
berdo'a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a
merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah.
Allah melarang mahluknya berdo'a kepada selain Allah,



Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah.

Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya

Disamping ( menyembah ) Allah.

( QS. Al-Jin : 18 )



Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para
'ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah
ditetapkan syari'ah.

Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita
sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.

Wallahu a'lam bishshawab.

1) Siyar A'lamin Nubala XX/442

2) Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi Asy
Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh
berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani.

3) Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati,
dan sebagainya.

4) Nama lengkapnya ialah Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin
Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang 'ulama bermadzhab Syafi'i.
Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di
Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitan Ad Durarul
Kaminah, biografi nomor 1452.

5) Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal.
509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar,
Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.

6) At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515.

7) At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516.

8) Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94.

9) At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul
Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah
1415 H / 8 April 1995 M.

-----------------------------------------------------------------
Majalah Assunnah Edisi 07/Tahun VI/1423H/2002M

Wednesday, February 16, 2011

Di Balik Kelembutan Suaramu




Banyak wanita di jaman ini yang merelakan dirinya menjadi komoditi. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi barang dagangan, suaranya pun bisa mendatangkan banyak rupiah

Ukhti Muslimah….
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu.

Begitu mudahnya wanita tersebut memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal Dia telah memperingatkan:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda :
“Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad, 2/36).

Suara merupakan bagian dari wanita sehingga suara termasuk aurat, demikian fatwa yang disampaikan Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (1/ 431, 434)

Para wanita diwajibkan untuk menjauhi setiap perkara yang dapat mengantarkan kepada fitnah. Apabila ia memperdengarkan suaranya, kemudian dengan itu terfitnahlah kaum lelaki, maka seharusnya ia menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para wanita diperintahkan untuk tidak mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah1. Ketika mengingatkan imam yang keliru dalam shalatnya, wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya dengan ber-tashbih sebagaimana laki-laki, tapi cukup menepukkan tangannya, sebagaimana tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Ucapan tashbih itu untuk laki-laki sedang tepuk tangan untuk wanita”. (HR. Al Bukhari no. 1203 dan Muslim no. 422)

Demikian pula dalam masalah adzan, tidak disyariatkan bagi wanita untuk mengumandangkannya lewat menara-menara masjid karena hal itu melazimkan suara yang keras.

Ketika terpaksa harus berbicara dengan laki-laki dikarenakan ada kebutuhan, wanita dilarang melembutkan dan memerdukan suaranya sebagaimana larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab di atas. Dia dibolehkan hanya berbicara seperlunya, tanpa berpanjang kata melebihi keperluan semula.

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah u berkata dalam tafsirnya: “Makna dari ayat ini (Al-Ahzab: 32), ia berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa melembutkan suaranya, yakni tidak seperti suaranya ketika berbicara dengan suaminya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/491).

Maksud penyakit dalam ayat ini adalah syahwat (nafsu/keinginan) berzina yang kadang-kadang bertambah kuat dalam hati ketika mendengar suara lembut seorang wanita atau ketika mendengar ucapan sepasang suami istri, atau yang semisalnya.

Suara wanita di radio
dan telepon

Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: “Bolehkah seorang wanita berprofesi sebagai penyiar radio, di mana ia memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya? Apakah seorang laki-laki boleh berbicara dengan wanita melalui pesawat telepon atau secara langsung?”
Asy Syaikh menjawab: “Apabila seorang wanita bekerja di stasiun radio maka dapat dipastikan ia akan ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum lelaki. Bahkan seringkali ia berdua saja dengan seorang laki-laki di ruang siaran. Yang seperti ini tidak diragukan lagi kemungkaran dan keharamannya. Telah jelas sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita.”

Ikhtilath yang seperti ini selamanya tidak akan dihalalkan. Terlebih lagi seorang wanita yang bekerja sebagai penyiar radio tentunya berusaha untuk menghiasi suaranya agar dapat memikat dan menarik. Yang demikian inipun merupakan bencana yang wajib dihindari disebabkan akan timbulnya fitnah.

Adapun mendengar suara wanita melalui telepon maka hal tersebut tidaklah mengapa dan tidak dilarang untuk berbicara dengan wanita melalui telepon. Yang tidak diperbolehkan adalah berlezat-lezat (menikmati) suara tersebut atau terus-menerus berbincang-bincang dengan wanita karena ingin menikmati suaranya. Seperti inilah yang diharamkan. Namun bila hanya sekedar memberi kabar atau meminta fatwa mengenai suatu permasalahan tertentu, atau tujuan lain yang semisalnya, maka hal ini diperbolehkan. Akan tetapi apabila timbul sikap-sikap lunak dan lemah-lembut, maka bergeser menjadi haram. Walaupun seandainya tidak terjadi yang demikian ini, namun tanpa sepengetahuan si wanita, laki-laki yang mengajaknya bicara ternyata menikmati dan berlezat-lezat dengan suaranya, maka haram bagi laki-laki tersebut dan wanita itu tidak boleh melanjutkan pembicaraannya seketika ia menyadarinya.

Sedangkan mengajak bicara wanita secara langsung maka tidak menjadi masalah, dengan syarat wanita tersebut berhijab dan aman dari fitnah. Misalnya wanita yang diajak bicara itu adalah orang yang telah dikenalnya, seperti istri saudara laki-lakinya (kakak/adik ipar), atau anak perempuan pamannya dan yang semisal mereka.” (Fatawa Al Mar‘ah Al Muslimah, 1/433-434).

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin menambahkan dalam fatwanya tentang permasalahan ini: “Wajib bagi wanita untuk bicara seperlunya melalui telepon, sama saja apakah dia yang memulai menelepon atau ia hanya menjawab orang yang menghubunginya lewat telepon, karena ia dalam keadaan terpaksa dan ada faidah yang didapatkan bagi kedua belah pihak di mana keperluan bisa tersampaikan padahal tempat saling berjauhan dan terjaga dari pembicaraan yang mendalam di luar kebutuhan dan terjaga dari perkara yang menyebabkan bergeloranya syahwat salah satu dari kedua belah pihak. Namun yang lebih utama adalah meninggalkan hal tersebut kecuali pada keadaan yang sangat mendesak.” (Fatawa Al Mar`ah, 1/435)

Laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya

Kenyataan yang ada di sekitar kita, bila seorang laki-laki telah meminang seorang wanita, keduanya menilai hubungan mereka telah teranggap setengah resmi sehingga apa yang sebelumnya tidak diperkenankan sekarang dibolehkan. Contoh yang paling mudah adalah masalah pembicaraan antara keduanya secara langsung ataupun lewat telepon. Si wanita memperdengarkan suaranya dengan mendayu-dayu karena menganggap sedang berbincang dengan calon suaminya, orang yang bakal menjadi kekasih hatinya. Pihak laki-laki juga demikian, menyapa dengan penuh kelembutan untuk menunjukkan dia adalah seorang laki-laki yang penuh kasih sayang. Tapi sebenarnya bagaimana timbangan syariat dalam permasalahan ini?

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawab:” Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya (di-khitbah-nya), apabila memang pinangannya (khitbah) telah diterima. Dan pembicaraan itu dilakukan untuk saling memberikan pengertian, sebatas kebutuhan dan tidak ada fitnah di dalamnya. Namun bila keperluan yang ada disampaikan lewat wali si wanita maka itu lebih baik dan lebih jauh dari fitnah. Adapun pembicaraan antara laki-laki dan wanita, antara pemuda dan pemudi, sekedar perkenalan (ta‘aruf) –kata mereka- sementara belum ada khithbah di antara mereka, maka ini perbuatan yang mungkar dan haram, mengajak kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al-Ahzab: 32) (Fatawa Al Mar‘ah, 2/605) ?

(Disusun dan dikumpulkan dari fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin
oleh Ummu Ishaq Al Atsariyah dan Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim).

Wednesday, February 2, 2011

 
Posted by Picasa

sila baca n hayati……

sila baca n hayati……
Di dalam hidup manusia, yang penting
ialah BERKAT.
Bila hidup kita berkat, diri ini akan
selamat.
Apabila diri selamat, rumahtangga jadi
sepakat.
Apabila rumahtangga jadi sepakat,
masyarakat jadi muafakat. Apabila
masyarakat jadi muafakat, negara kita
menjadi kuat. Apabila negara
menjadi kuat, negara luar jadi hormat.
Apabila negara luar jadi
hormat, permusuhan pun tersekat.
Apabila permusuhan tersekat,
pembangunan pun meningkat. Apabila
pembangunan pun meningkat,
kemajuan menjadi pesat.

TETAPI AWAS, apabila pembangunan
meningkat, kemajuan menjadi pesat,
kita lihat bangunan naik bertingkat-
tingkat.

Ditengah-tengah itu, tempat maksiat
tumbuh macam kulat. Apabila
tempat-tempat maksiat tumbuh macam
kulat, KETIKA ITU manusia mula
mengubah tabiat. Apabila manusia telah
mengubah tabiat,
ada yang jadi lalat ada yang jadi
ulat.
Apabila manusia dah jadi ulat,
sembahyang makin hari makin liat.
Apabila sembahyang jadi liat, orang
baik ada yang bertukar jadi
jahat.
Apabila orang baik bertukar jahat,
orang miskin pula nak kaya cepat.
Apabila orang miskin nak kaya cepat,
orang tua pula nak mati
lambat.
Apabila orang tua nak mati lambat, tak
dapat minum madu telan jerla
minyak gamat.

Yang lelaki, budak budak muda pakai
seluar ketat.
Semua nak tunjuk kuat.
Bila berjudi, percaya unsur kurafat.
Tapi hidup pula yang melarat.
Tali kasut dah tak berikat.
Rambut pun jarang sikat.

Yang perempuan, pakai mini sekerat.
Suka pakai baju ketat.
Suka sangat menunjukkan pusat.
Hingga tak pedulikan lagi batasan
aurat.
Pakai pulak yang singkat-singkat.
Kadang-kadang ternampak benda 'bulat'.

Bila jadi macam ini, siapa lihat pasti
tercegat.
Silap gaya jadi gawat, bohsia bohjan
lagi hebat.
Duduk jauh berkirim surat .
Bila berjumpa, tangan berjabat.
Kemudian pakat lawan peluk siapa erat.
Masa tu, nafas naik sampai tersekat-
sekat.
Usah peduli agama dan adat.
Usah takut Allah dan malaikat.
Yang penting apa kita nak buat?
Kita 'bukti' lah kita buat.
Akhirnya perut kempis dah jadi bulat.
Apabila perut kempis dah jadi bulat,
maka lahirlah
pula anak-anak yang tak cukup sifat.
Bila anak-anak tak cukup sifat, jam tu
kita tengok bayi dibuang di
merata tempat.
MAKNANYA KETIKA ITU, IBLIS MULA
MELOMPAT.
Dia kata apa? Habis manusia dah masuk
jerat.
Habis manusia telah tersesat.
Inilah dia fenomena masyarakat.
Oleh itu wahai saudaraku dan para
sahabat,
Marilah kita pakat mengingat,
Bahawa dunia hari ini makin singkat,
Esok atau lusa mungkin kiamat,
Sampai masa kita semua akan
berangkat! .
Berangkat menuju ke negeri akhirat.

Di sana kita akan ditanya apa yang
kita buat.
Masa tu, sindri mau ingat.

Umur mu banyak mana mu buat ibadat...?
Zaman muda mu, apa yang telah mu
buat...?
Harta benda anta, dari mana anta
dapat...?
Ilmu anta, adakah anta manafaat...?

Semoga ianya dapat mengingatkan kita
supaya segera
meninggalkan maksiat dan
memperbanyakkan ibadat.

(Petikan ucapan Ustaz Hj. Akil Hayy
Rawa.
Sebarkanlah ini kepada ahli keluarga,
saudara-mara, rakan-rakan dan
sahabat handai kita agar masyarakat
kita akan menjadi sebuah masyarakat
yang bukan sahaja maju dari segi
duniawi malah ukhrawi. Insya-
Allah. ..Allahhuakbar! Allahhuakbar!
Allahhuakbar! )

Sampaikan kepada wanita




Sampaikan kepada wanita

1. Seorang wanita solehah adalah lebih baik daripada 70 orang wali.


2. Seorang wanita solehah adalah lebih baik daripada 70 lelaki soleh.


3. Seorang wanita yang jahat adalah lebih buruk daripada 1,000 lelaki yang jahat.


4. 2 rakaat solat dari wanita yang hamil adalah lebih baik daripada 80 rakaat solat wanita yang tidak hamil.


5. Wanita yang memberi minum susu kepada anaknya daripada badannya (susu badan) akan dapat satu pahala daripada tiap-tiap titik susu yang diberikannya.


6. Wanita yang melayan dengan baik suami yang pulang ke rumah di dalam keadaan letih akan mendapat pahala jihad.


7. Wanita yang habiskan malamnya dengan tidur yang tidak selesa kerana menjaga anaknya yang sakit akan mendapat pahala seperti membebaskan 20 orang hamba.


8. Wanita yang melihat suaminya dengan kasih sayang dan suami yang melihat isterinya dengan kasih sayang akan dipandang Allah dengan penuh rahmat.


9. Wanita yang menyebabkan suaminya keluar dan berjuang ke jalan Allah dan kemudian menjaga adab rumahtangganya akan masuk syurga 500 tahun lebih awal daripada suaminya, akan menjadi ketua 70,000 maalaikat dan bidadari dan wanita itu akan dimandikan di dalam syurga, dan menunggu suaminya dengan menunggang kuda yang dibuat daripada yakut.


10. Wanita yang tidak cukup tidur pada malam hari kerana menjaga anak yang sakit akan diampunkan oleh Allah akan seluruh dosanya dan bila dia hiburkan hati anaknya Allah memberi 12 tahun pahala ibadat.


11. Wanita yang memerah susu binatang dengan 'bismillah' akan didoakan oleh binatang itu dengan doa keberkatan.


12. Wanita yang menguli tepung gandum dengan bismillah', Allah akan berkatkan rezekinya.


13. Wanita yang menyapu lantai dengan berzikir akan mendapat pahala seperti meyapu lantai di baitullah.


14. Wanita yang menjaga solat, puasa dan taat pada suami, Allah akan mengizinkannya untuk memasuki syurga dari mana-mana pintu yang dia suka.


15. Wanita yang hamil akan dapat pahala berpuasa pada siang hari.


16.Wanita yang hamil akan dapat pahala beribadat pada malam hari.


16. Wanita yang bersalin akan mendapat pahala 70 tahun solat dan puasa dan setiap kesakitan pada satu uratnya Allah mengurniakan satu pahala haji.


17. Sekiranya wanita mati dalam masa 40 hari selepas bersalin, dia akan dikira sebagai mati syahid.


18. Jika wanita melayan suami tanpa khianat akan mendapat pahala 12 tahun solat.


19. Jika wanita menyusui anaknya sampai cukup tempoh (2 1/2 tahun), maka maalaikat-maalaikat di langit akan khabarkan berita bahawa syurga wajib baginya.


20. Jika wanita memberi susu badannya kepada anaknya yang menangis, Allah akan memberi pahala satu tahun solat dan puasa.


21. Jika wanita memicit suami tanpa disuruh akan mendapat pahala 7 tola emas dan jika wanita memicit suami bila disuruh akan mendapat pahala tola perak.


22. Wanita yang meniggal dunia dengan keredhaan suaminya akan memasuki syurga.


23. Jika suami mengajarkan isterinya satu masalah akan mendapat pahala 80 tahun ibadat.


24. Semua orang akan dipanggil untuk melihat wajah Allah di akhirat, tetapi Allah akan datang sendiri kepada wanita yang memberati auratnya iaitu memakai purdah di dunia ini dengan istiqamah.




Pandangan : Amatlah mudah bagi seorang wanita untuk menjejak Syurga. Namun begitu mengapa terlalu ramai yang masih hidup dalam kejahilan? Sang suami pula perlu ingat, tidak kamu jejaki syurga sebelum keluarga kamu menjejak syurga. Jangan ingat hendak kahwin empat jika yang satu belum terbela. Yang belum kahwin tu ingat, kamu terdedah kepada kemungkaran. Iman akan dicabar sehebat-hebatnya ketika ini. Pilih lah Syurga dan bukannya Neraka.


Siapa tahu, hari ini kita tak sampai ke rumah sebab dipertengahan jalan kita bertemu Izrail.

Berbahagialah menjadi seorang Muslimah

Berbahagialah menjadi seorang Muslimah
Ada kaum wanita berkata,,, “susah menjadi wanita ISLAM”. Lihat saja peraturan dibawah ini:

1. Wanita auratnya lebih susah dijaga dibanding lelaki.

2. Wanita perlu meminta izin dari suaminya apabila mau keluar rumah tetapi tidak sebaliknya.

3. Wanita saksinya kurang dibanding lelaki.

4. Wanita menerima pusaka atau warisan kurang dari lelaki.

5. Wanita harus menghadapi kesusahan mengandung dan melahirkan anak.

6. Wanita wajib taat kepada suaminya tetapi suami tak perlu taat pada isterinya.

7. Talak ada di tangan suami dan bukan isteri.

8. Wanita kurang beribadah kerana masalah haid dan nifas yang tidak dialami lelaki.

PERNAHKAH KITA BERFIKIR SEBALIKNYA…??
Aurat serta perhiasan wanita adalah suatu yang sangat mahal dan berharga…
makanya..

Benda yang mahal harganya akan dijaga dan dibelai serta disimpan di tempat yang teraman dan terbaik. Sudah pasti intan permata tidak akan dibiarkan terserak, bukan? Itulah bandingannya antara seorang muslimah dgn pompuan jalanan.

Satu:
Wanita perlu taat kepada suami, tetapi lelaki pun wajib taat kepada ibunya 3 kali lebih utama dari bapaknya. Bukankah ibu adalah seorang wanita?

Dua:
Wanita menerima pusaka atau warisan kurang dari lelaki tetapi harta itu menjadi milik peribadinya dan tidak perlu diserahkan kepada suaminya.
Manakala lelaki menerima pusaka atau warisan, ia akan menggunakan hartanya untuk isteri dan anak-anaknya.

Tiga:
Wanita perlu bersusah payah mengandung dan melahirkan anak, tetapi setiap saat dia didoakan oleh segala makhluk, malaikat, dan seluruh makhluk Allah di muka bumi ini, dan matinya jika saat melahirkan adalah syahid.

Empat:
Di akhirat kelak, seorang lelaki akan mempertanggungjawabkan 4 wanita ini:
Isterinya, ibunya, anak perempuannya, dan saudara perempuannya.

Lima:
Seorang wanita pula, tanggung jawab terhadapnya ditanggung oleh 4 orang lelaki ini:
Suaminya, ayahnya, anak lelakinya dan saudara, lelakinya.

Enam:
Seorang wanita boleh memasuki pintu syurga melalui pintu manapun yang disukainya cukup dengan 4 syarat saja :
Solat 5 waktu, puasa di bulan Ramadhan, taat pada suaminya dan menjaga kehormatannya.

Tujuh:
Seorang lelaki perlu pergi berjihad fisabilillah tetapi wanita jika taat pada suaminya serta menunaikan tanggungjawabnya kepada ALLAH, ia akan turut menerima pahala seperti pahala orang pergi berperang
fisabilillah tanpa perlu mengangkat senjata.

MasyaAllah…
demikian sayangnya Allah pada wanita, kan?
Bagaimana……? Masih merasa tidak adil?
masih tak nak jaga aurat??
Berbahagialah menjadi seorang Muslimah!!!