Wednesday, March 23, 2011

Hati-Hati Membicarakan Orang Lain

Membicarakan aib orang lain atau ghibah telah Allah haramkan secara jelas dan tegas di dalam kitab-Nya dan melalui lisan rasul-Nya. Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya,
"Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya." (QS. al-Hujurat:12)

Penjelasan tentang hakikat ghibah telah disebutkan di dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yaitu,
"Engkau membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak suka (untuk diungkapkan)." (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga telah mengharamkan kehormatan seorang mukmin dan mengaitkannya dengan hari Arafah, bulan haram, dan tanah haram. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negri kalian ini. Ingat! Bukankah aku telah menyampaikan?" (HR Muslim).

Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan dengan sangat tegas bahwa membicarakan aib dan kehormatan seorang mukmin itu lebih parah dibandingkan dengan seseorang yang menikahi ibunya sendiri. Diriwayatkan dari al-Barra' bin Azib radhiyallahu 'anhu dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Riba itu mempunyai tujuh puluh dua pintu, yang paling rendah seperti seseorang yang menikahi ibunya. Dan riba yang paling besar yakni seseorang yang berlama-lama membicarakan kehormatan saudaranya." (Silsilah ash-Shahihah no. 1871)

Di dalam sebuah potongan hadist, riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Siapa yang berkata tentang seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak terjadi (tidak dia perbuat), maka Allah subhanahu wata'ala akan mengurungnya di dalam lumpur keringat ahli neraka, sehingga dia menarik diri dari ucapannya (melakukan sesuatu yang dapat membebaskannya)." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim, disetujui oleh adz-Dzahabi, lihat Silsilah ash-Shahihah no. 437)

Diriwayatkan dari Abdur Rahman bin Ghanam radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda,
"Sebaik-baik hamba Allah adalah orang yang jika dilihat (menjadi perhatian) disebutlah nama Allah, dan seburuk-buruk hamba Allah adalah orang yang berjalan dengan mengadu domba, memecah belah antara orang-orang yang saling cinta, dan senang untuk membuat susah orang-orang yang baik." (HR. Ahmad 4/227, periksa juga kitab "Hashaid al-Alsun" hal. 68)

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Wahai sekalian orang yang telah menyatakan Islam dengan lisannya namun iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian semua menyakiti sesama muslim, janganlah kalian membuka aib mereka, dan janganlah kalian semua mencari-cari (mengintai) kelemahan mereka. Karena siapa saja yang mencari-cari kekurangan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengintai kekurangannya, dan siapa yang diintai oleh Allah kekurangannya maka pasti Allah ungkapkan, meskipun dia berada di dalam rumahnya." (HR. at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi 2/200)

Para salaf adalah orang yang sangat menjauhi ghibah dan takut jika terjerumus melakukan hal itu. Di antaranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, dia berkata, "Aku mendengar Abu 'Ashim berkata, "Semenjak aku ketahui bahwa ghibah adalah haram, maka aku tidak berani menggunjing orang sama sekali." (at-Tarikh al-Kabir (4/336)

Al-Imam al-Bukhari mengatakan, "Aku berharap untuk bertemu dengan Allah subhanahu wata'ala dan Dia tidak menghisab saya sebagai seorang yang telah berbuat ghibah terhadap orang lain."

Imam Adz-Dzahabi berkomentar, "Benarlah apa yang beliau katakan, siapa yang melihat ucapan beliau di dalam jarh dan ta'dil (menyatakan cacat dan jujurnya seorang perawi) maka akan tahu kehati-hatian beliau di dalam membicarakan orang lain, dan sikap inshaf (obyektif) beliau di dalam mendhaifkan/melemahkan seseorang.

Lebih lanjut beliau (adz-Dzahabi) mengatakan, "Apabila aku (Imam al-Bukhari) berkata si Fulan dalam haditsnya ada catatan, dan dia diduga seorang yang lemah hafalannya, maka inilah yang dimaksudkan dengan ucapan beliau "Semoga Allah subhanahu wata'ala tidak menghisab saya sebagai orang yang melakukan ghibah terhadap orang lain." Dan ini merupakan salah satu dari puncak sikap wara'. (Siyar A'lam an -Nubala' 12/439)

Beliau juga mengatakan, "Aku tidak menggunjing seseorang sama sekali semenjak aku ketahui bahwa ghibah itu berbahaya bagi pelakunya." (Siyar a'lam an-Nubala' 12/441)

Para salaf apabila terlanjur menggunjing orang lain, maka mereka langsung melakukan introspeksi diri. Ibnu Wahab pernah berkata, "Aku bernadzar apabila suatu ketika menggunjing seseorang maka aku akan berpuasa satu hari. Aku pun berusaha keras untuk menahan diri, tetapi suatu ketika aku menggunjing, maka aku pun berpuasa. Maka aku berniat apabila menggunjing seseorang, aku akan bersedekah dengan satu dirham dan karena sayang terhadap dirham, maka aku pun meninggalkan ghibah."

Berkata imam adz-Dzahabi, "Demikianlah kondisi para ulama, dan itu merupakan buah dari ilmu yang bermanfaat." (Siyar: 9/228)

Bahkan seorang yang melakukan ghibah pada hakikatnya sedang memberikan kebaikannya kepada orang lain yang dia gunjing. Bahkan Abdur Rahman bin Mahdi berkata, "Andaikan aku tidak benci karena bermaksiat kepada Allah subhanahu wata'ala, maka tentu aku berharap tidak ada seorang pun di Mesir, ini kecuali aku menggunjingnya, yakni karena dengan itu seseorang akan mendapatkan kebaikan di dalam catatan amalnya, padahal dia tidak melakukan sesuatu." (Siyar: 9/195)

Maka para aktivis dakwah di masa ini yang melakukan ghibah atau membicarakan aib saudaranya sesama muslim dengan alasan untuk meluruskan kesalahan dan demi kebaikan, alangkah baiknya sebelum membicarakan orang lain merenung kan beberapa masalah berikut:

Pertama; Apakah yang dia lakukan itu adalah ikhlas dan merupakan nasihat untuk Allah subhanahu wata'ala, Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan kaum muslimin? Ataukah merupakan dorongan hawa nafsu baik tersembunyi atau terang-terangan? Atukah itu merupakan hasad dan kebencian terhadap orang yang dia gunjing?

Memperjelas apa latar belakang yang mendorong untuk membicarakan orang lain sangatlah penting. Sebab berapa banyak orang yang terjerumus ke dalam ghibah dan menggunjing orang lain karena dorongan nafsu tercela sebagaimana tersebut di atas. Lalu dia menyangka bahwa yang mendorong dirinya untuk menggunjing adalah karena menyampaikan nasehat dan menginginkan kebaikan.

Ini merupakan ketergelinciran jiwa yang sangat pelik, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, kecuali setelah merenung dan berpikir mendalam penuh rasa ikhlas dan murni karena Allah subhanahu wata'ala.

Ke dua; Harus dilihat dulu bentuk masalahnya ketika membicarakan aib seseorang, apakah merupakan hal-hal yang di situ memang dibolehkan untuk ghibah ataukah tidak?

Ke tiga; Renungkan berkali-kali sebelum mengeluarkan kata-kata untuk membicarakan orang lain; Apa jawaban yang saya sampaikan nanti di hadapan Allah subhanahu wata'ala pada hari Kiamat jika Dia bertanya, "Wahai hamba-Ku si Fulan, mengapa engkau membicarakan si Fulan dengan ini dan ini?"

Hendaknya selalu ingat bahwa Allah subhanahu wata'ala telah berfirman,
"Dan ketahuilah bahwasannya Allah mengetahi apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (QS. Al-Baqarah: 235)

Dan Ibnu Daqiq al-Ied juga telah berkata, "Kehormatan manusia merupakan salah satu jurang dari jurang jurang neraka yang para ahli hadits dan ahli hukum diam apabila telah berhadapan dengannya. (Thabaqat asy Syafi'iyyah al Kubra 2/18). Wallahu a'lam.
Sumber: "Manhaj Ahlussunnah fi an-Naqdi wal Hukmi 'alal Akharin, hal 17-20, Hisyam bin Ismail ash-Shiini.

MAN ANA

Ana in saaltal-qouma 'anni man ana
Ana mu`minun sa a'isyu dauman mu`mina
Falya'lamil-jami'u 'anni ha huna
Lan anhani lan antani lan arkana

Inni ra`aitullaha fi akwanihi
Wa sami'tul shautul-haqqi fi qur`anihi
Wa lamastu hikmatahu wa faidha hana`ihi
Fi siratil-mukhtari fi imanihi

Ana mus-hafun yamsyi wa islamun yura
Ana nafhatul-ulwiyyatun fauqats-tsara
Al-kaunu li wa li khidmati qad sukhira
Wa li man ana, ana lilladzi khalaqal-wara

Ana kaukabun yahdil qawafila fits-tsara
Wa ana syihabun idza ra`aitul munkarat
Ma li siwa nafsun ta'uddu 'alasy-syira
Qad bi'tuha lillahi wallahusytara

Album :
Munsyid : Brothers

HATI

segala puji bagi ALLAH,dan selawat keatas junjungan besar NABI MUHAMMADA S.A.W.

dalam segala dilemmaa yang telah menghantui diri ini, ana ingin mengagahkan diri dalam warkah yang tak seberapa ini, ingin ana luahkan bahawa kehidupan kita sebagai khalifah di dunia ini tidak lengkap dengan ujian dan cobaan yang datang dengan bertubi-tubi hinggakan kita terduduk menangis menagih simpati kepada yang tidak kekal, bahkan adakalanya kita sanggup menggadaikan maruah untuk mendapatkannya. tidakkah kita sedar bahawa sesungguhnya kita hanyalah insan biasa dalam melayari lautan yang bergelora, “Orang yang beriman, hati mereka tenang kerana mengingat Allah kerana hanya dengan mengingati Allah hati akan menjadi tenang.(Ar-Ra’d :28)

“Apakah manusia mengira, ia akan dibiarkan sahaja, mengatakan kami telah beriman, sedangkan mereka belum diuji?”
(Surah al-Ankabut: 2)

dalam mencari sinar yang kian hari kian menjauh, kita seharusnya melangkah dengan yakin agar segala perbuatan yang memungkinkan kita terjatuh kedalam lumpur yang sama tidak terjadi kembali.

Sungguh AL-HASANAT (Amal Soleh) itu akan menghapus SAIAT
(Perbuatan Keji) (QS. Hud: 114) Jadi perbuatan Soleh akan menghapus perbuatan
Keji, dan Perbuatan keji itu akan menghapus amal Soleh pula. Jika kita telah
melakukan keburukan cepatlah ganti dengan Amal Soleh, agar perbuatan keji itu
terhapus.
IBNU KATSIR (Mufassir Sejati)


Nama Lengkap

Nama lengkap beliau adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H di sebuah desa yang menjadi bagian dari kota Bashra di negeri Syam. Pada usia 4 tahun, ayah beliau meninggal sehingga kemudian Ibnu Katsir diasuh oleh pamannya. Pada tahun 706 H, beliau pindah dan menetap di kota Damaskus.

Riwayat Pendidikan

Ibn Katsir tumbuh besar di kota Damaskus. Di sana, beliau banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah satunya adalah Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari. Beliau juga menimba ilmu dari Isa bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq bin Yahya bin al-Amidi, Ibn Zarrad, al-Hafizh adz-Dzahabi serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain itu, beliau juga belajar kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizzi, salah seorang ahli hadits di Syam. Syaikh al-Mizzi ini kemudian menikahkan Ibn Katsir dengan putrinya.

Selain Damaskus, beliau juga belajar di Mesir dan mendapat ijazah dari para ulama di sana.

Prestasi Keilmuan

Berkat kegigihan belajarnya, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari.

Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat yang lain), menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.

Karya Ibnu Katsir

Selain Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, beliau juga menulis kitab-kitab lain yang sangat berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya, di antaranya adalah al-Bidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, Jami’ Al Masanid yang berisi kumpulan hadits, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits tentang ilmu hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang jihad dan masih banyak lagi.

Kesaksian Para Ulama

Kealiman dan keshalihan sosok Ibnu Katsir telah diakui para ulama di zamannya mau pun ulama sesudahnya. Adz-Dzahabi berkata bahwa Ibnu Katsir adalah seorang Mufti (pemberi fatwa), Muhaddits (ahli hadits), ilmuan, ahli fiqih, ahli tafsir dan beliau mempunyai karangan yang banyak dan bermanfa’at.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata bahwa beliau adalah seorang yang disibukkan dengan hadits, menelaah matan-matan dan rijal-rijal (perawinya), ingatannya sangat kuat, pandai membahas, kehidupannya dipenuhi dengan menulis kitab, dan setelah wafatnya manusia masih dapat mengambil manfa’at yang sangat banyak dari karya-karyanya.

Salah seorang muridnya, Syihabuddin bin Hajji berkata, “Beliau adalah seorang yang plaing kuat hafalannya yang pernah aku temui tentang matan (isi) hadits, dan paling mengetahui cacat hadits serta keadaan para perawinya. Para sahahabat dan gurunya pun mengakui hal itu. Ketika bergaul dengannya, aku selalu mendapat manfaat (kebaikan) darinya.

Akhir Hayat

Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 774 H di Damaskus dan dikuburkan bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Meski kini beliau telah lama tiada, tapi peninggalannya akan tetap berada di tengah umat, menjadi rujukan terpercaya dalam memahami Al Qur’an serta Islam secara umum. Umat masih akan terus mengambil manfaat dari karya-karyanya yang sangat berharga.

(SUMBER: Majalah Tashfia, edisi 03/2006, hal.63-64)